Influencer Marketing: Musuh Besar Media Mainstream
Sepanjang hidup saya, lumayanlah sudah beberapa kali viral di Twitter dan FB. Terakhir saya dihujat orang se-Indonesiah karena saya mengkritik Najwa Shihab yang mewawancarai bangku kosong sebagai representasi Menteri Kesehatan Dr Terawan. Saya bilang Mbak Nana me-cyber bully Menkes. Unpopular opinion juga sih, melanggar aturan medsos: Jangan lawan arus!
Serta merta akun saya @WRahMada penuh dengan protes, makian, dikatain buzzerRp, cacian dari yang lembut, nyindir sampai yang paling kasar. Walaupun ada banyak juga yang sependapat dengan saya. Kalau anda termasuk bagian yang mencaci, i just want you to know, semua sudah berlalu. Kalau anda mendukung saya, ini juga sudah berlalu.
Beberapa teman baik yang khawatir bahkan DM untuk memastikan saya tidak depresi. Padahal saya santai saja liatin mention-an dan reply-an sambil ngopi dan ngemil pisang goreng buatan istri saya.
Prinsip saya tetep sama: berbeda itu hak. Utarakan saja, buat apa takut, asal dijaga jangan sampai merasa lebih baik atau lebih benar dari orang lain yang berbeda pendapat.
Tapi gini, udah yang viral itu sudah berlalu. Di artikel ini saya mau ngobrol banyak tentang influencer marketing. Sesuatu yang di artikel ini Sosial Media Marketing saya sebut di tahun 2020 ini bakal pudar, tapi ternyata malah makin populer. Kuy!
Apa Itu Influencer Marketing
Influencer marketing adalah pemasaran menggunakan sosial media yang memakai media endorsement atau product-mentions dari seseorang yang berpengaruh di bidangnya (influencer). Influencer marketing dapat bekerja dengan baik apabila influencer yang dipakai mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi sehingga follower-nya mengikuti.
Nah, saat ini influencer marketing sedang dalam sorotan banyak orang. Model pemasaran yang sebetulnya sudah lama ada ini, kini menjadi trending. Sayangnya kebanyakan pembicaraan tentang influencer marketing ini, aromanya negatif.
Baca juga: Cara Memilih Influencer
Seperti ketika berita viral Kementerian Pariwisata periode lalu menganggarkan 22 paket jasa influencer dengan nilai total Rp. 77,66 Milyar. Paket ini menuai hujatan dari netijen. Salah gak sih itu? Nggak lah 🙂
Kata kunci dari influencer marketing adalah kolaborasi antara influencer dan pemilik brand. Dahulu, ketika sebelum jaman online online, influencer biasanya seorang selebritis.
Hal ini karena diyakini, memakai selebritis sebagai influencer akan dapat mempengaruhi preferensi penggemarnya terhadap produk tertentu. Gampangnya gini, kalo idolanya pake parfum A, tentu saja penggemarnya juga pengen pake parfum A. Platform yang dahulu dipakai bisa berupa artikel majalah atau advertorial di media yang lain, seperti televisi, koran, dll.
Awal munculnya peran influencer ini, pada awal tahun 1970an, disebutkan dalam buku Organizational Buying Behaviour oleh professor industrial marketing, Frederick E Webster dan Yoram Wind, dalam konsep ‘Buying Centre’ dalam rangka untuk menstrukturkan skala penjualan dalam sebuah korporasi besar. Ada 5 peran di dalam sebuah buying process perusahaan, yaitu influencer, decider, buyer, user dan gatekeeper.
Di awal tahun 1980, konsep itu disempurnakan oleh Thomas Bonoma dengan menambahkan 1 peran lagi, yaitu inisiator, sehingga terdapat 6 roles dalam buying process tersebut : inisiator, influencer, decider, buyer, user dan gatekeeper.
Influencer adalah seseorang yang mempunyai pengaruh dalam menentukan pembelian, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menyediakan informasi dan kriteria yang dipakai untuk mengevaluasi proses pembelian yang berlangsung.
Long story short, versi saya ini lho, influencer adalah orang mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Kalau di buku perilaku konsumen, ya tentu saja pengaruh ini adalah pengaruh untuk mempengaruhi orang lain dalam proses pembelian. Yang tadinya mau beli, dipengaruhi buat gak jadi. Atau yang tadinya mau beli barang X, bisa dipengaruhi akhirnya beli barang Y.
Jadi, kalo liat definisinya, influencer ini udah ada dari jaman dulu. Dikaitkan dengan era sekarang yang serba digital, influencer ini banyak menjadi faktor kunci dalam mempengaruhi proses pembelian seseorang. Ketika ada anak kecil pengen jadi Youtuber, sebetulnya ia ingin menjadi seorang influencer, dengan media Youtube.
Influencer vs Media Mainstream
Apa yang membuat influencer menjadi mempunyai peran vital di era digital sekarang ini? Jawabannya cuma satu: Sosial Media.
Influencer menemukan untapped market di medsos, karena selama offline, mereka tertahan oleh 2 hal: media dan cara berkomunikasi. Medsos membuka lebar rentang jarak dan waktu. Klop!
Ditambah lagi dengan overloaded informasi dari media mainstream. Kegerahan market menjadi sebuah tuntutan agar mereka bisa memilih dan memilah sendiri informasi yang masuk. Dari sini, market mulai memilih media yang mereka mau, mem-follow orang yang mereka anggap layak, mematikan notif bahkan unfollow orang yang mereka gak suka.
Melihat perkembangan sosmed sekarang, dan memperhatikan beberapa influencer yang ada, saya yakin betul bahwa influencer marketing itu berlawanan arah dengan media mainstream.
Misalnya gini, influencer itu biasanya fokus di niche tertentu, media mainstream maen hajar bleh semua mau ada. Influencer itu bisa dua arah komunikasinya, kalau media mainstream ya cuma satu arah saja. Dan, yang paling penting adalah, influencer bisa diukur semuanya KPI-nya, kalau media mainstream tidak.
Lho kok?
Iya lah. Simpel saja, influencer bisa tahu berapa banyak orang yang melihat ke IG Story-nya, sedangkan media mainstream tidak bisa memberikan data apakah setiap artikel atau konten dibaca oleh pembacanya.
Udah keliatan, influencer menang telak. Belum lagi fakta bahwa influencer mempunyai kemampuan untuk berbicara dan bergaya secara luwes sesuai dengan permintaan. Sedangkan, media mainstream sudah terlalu kaku untuk bergerak menyesuaikan.
Anda pilih yang mana?
Sangat Bermanfaat
Artikel yang menarik.