Arief Yahya, Pariwisata Indonesia dan Pemasaran Digital
Sesaat setelah diumumkan, Menteri Pariwisata yang baru mengumumkan akan menggabungkan pariwisata dengan Information, Communication & Technology (ICT). Latar belakang beliau sebagai salah satu petinggi perusahaan telekomunikasi nomor satu di Indonesia sangat memungkinkan untuk mewujudkan hal tersebut. Komentar Presiden Jokowi juga semakin menebalkan rasa percaya diri. Beliau diyakini bisa memasarkan apapun. Memang sejatinya, pariwisata Indonesia memerlukan pemasar yang handal. Buku beliau, Paradox Marketing, adalah salah satu buku marketing terbaik yang pernah saya baca. Pariwisata Indonesia akan terbang tinggi.
Tetapi dibalik itu semua, terdapat beberapa hal yang harus dipahami. Pariwisata di semua belahan dunia, tidak bisa semata-mata disejajarkan dengan ilmu pemasaran. Selain terdapat berbagai batasan secara kapasitas, Indonesia sebagai sebuah destinasi, tentu saja juga harus menentukan terlebih dahulu batasan-batasan yang diperlukan. Biar bagaimanapun juga, keberhasilan sebuah pariwisata bukanlah dari jumlah wisatawan yang datang saja. Akan tetapi, juga dari sustainability-nya, baik secara ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan.
Menteri Pariwisata yang baru mempunyai banyak PR yang harus segera diselesaikan. Keinginannya untuk men-digitalisasi pariwisata Indonesia bakal terganjal oleh beberapa hal. Salah satunya adalah, program digital yang selama ini dilakukan oleh Kemenparekraf (dahulu), tingkat keberhasilannya bisa dikatakan minim. Situs indonesia(dot)travel yang dianggarkan 3,5 miliar lebih masih jauh dari harapan. Saya pernah menulis di blog saya : Bixbux.com, bahwa situs tersebut sangat-sangat overpriced. Profil pengunjung (unique visitors) yang datang tidak berbanding lurus dengan profil wisatawan yang masuk ke Indonesia. Baca disini.
Setiap tahun, Kemenparekraf selalu menyelenggarakan Passenger Exit Survey (PES), yaitu penelitian yang dilakukan di bandara internasional yang ada di Indonesia untuk mengetahui profil wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Salah satu temuannya adalah wisatawan, dibagi berdasarkan negara, yang mempergunakan internet sebagai referensi sebelum bepergian. Asumsinya, negara-negara ini adalah captive market (pasar pasti) dari IT dan negara yang diluar itu adalah negara yang memerlukan penetrasi pemasaran oleh pengelolanya.Nyatanya, dari 10 pasar terbesar Indonesia, hanya 3 (tiga) negara yang match, yaitu Amerika, China dan Australia. Sisanya tidak ada dalam daftar. Artinya, indonesia(dot)travel tidak tepat membidik pasar.
Hal tersebut terjadi karena situs indonesia(dot)travel tidak mempunyai landasan Search Engine Optimization (SEO) yang baik. Padahal apabila dilakukan dengan benar, pasar sasaran Indonesia, seperti negara Uni Emirat Arab, Amerika, Kanada, Swedia, Taiwan, Portugal, Malaysia, Filipina dan China akan dapat tercapai. Kesepuluh negara tersebu adalah penduduknya yang secara aktif mencari informasi di internet sebelum berkunjung ke negara tertentu.
Tetapi, tentu saja, ICT tidak hanya situs mewah tersebut. Secara digital marketing, ada 2 (dua) jenis traffic yang harus dimanfaatkan, yaitu internet dan mobile. Situs penyedia traffic, seperti Buzzcity, bahkan berani mengklaim traffic digital Indonesia bisa mencapai 5 juta per hari. Bahkan saya yakin pasti lebih.
Penggunaan digital untuk memasarkan pariwisata Indonesia sebetulnya sudah dilakukan oleh PT Telkom Indonesia. Paling tidak, sebelum beliau menjadi menteri sudah ada upaya untuk membantu pariwisata Indonesia dengan beberapa produk. Situs Hi-Indonesia salah satunya. Sayangnya proyek ini tersendat-sendat. Ketika pertama kali situs besutan Telkom Indonesia akan diluncurkan, saya memberikan masukan banyak. Ambisi untuk menjadikan situs ini sebagai referensi informasi dan pemesanan hotel dan moda transportasi terasa sangat muluk tetapi sumber daya yang dipakai sangat lemah. Situs sejenis yang lain, seperti Agoda, mengeluarkan USD1 juta untuk promosinya. Sementara, Hi-Indonesia seperti kehilangan semangat sampai sekarang. Padahal tanpa disadari, pasar wisatawan domestik yang memesan hotel lewat Agoda, uangnya akan ditarik dulu keluar Indonesia. Agoda Company Pte. Ltd adalah perusahaan dari Thailand yang akhirnya diakuisisi oleh Priceline Grup pada tahun 2007.
Hal lain yang harus diapresiasi adalah aplikasi bentukan Telkom : Hi Bali dan Hi-Bandung. Keduanya sudah bisa di download via iOS (apple) dan Android. Konon, Hi-Bali menjadi salah satu aplikasi favorit bagi turis yang datang, sedangkan Hi-Bandung tidak berjalan sesuai rencana. Update yang dilakukan sangat jarang. Terakhir kali, operasional aplikasi ini hanya dilakukan oleh seorang pegawai kontrak. Sungguh sangat disayangkan. Aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 30.000 kali seperti Hi Bandung tidak dimanfaatkan dengan baik. Padahal, turis membutuhkan informasi semacam ini.
Beberapa hal lain adalah program e-hotel dan e-travel. Keduanya juga tidak memberikan hasil yang signifikan. Berbagai macam bundling yang dilakukan tidak mampu juga mengangkat kedua produk ini. Jujur saja, secara kualitas produk, keduanya sungguh bagus. Hanya saja tingkat kompleksitas dan ketidakmampuan mengidentifikasi pasar industri pariwisata menjadi ganjalan besar. Setahun lalu, dalam FGD dengan pihak Telkom, saya juga menyampaikan pandangan industri pariwisata terhadap produk-produk tersebut. Tetapi belum juga dijalankan strateginya, personel yang mengurusi hal tersebut sudah dimutasi ke daerah lain. Sekali lagi, program tersebut menjadi lesu darah.
Oleh karena tersebut, Menteri Pariwisata yang baru perlu membuktikan keberhasilan dirinya dalam mengangkat pariwisata Indonesia. Digital marketing adalah proses yang sangat fenomenal. Tidak seperti pemasaran konvensional, pemasaran via media digital ini sungguh sangat terukur. Informasi apa saja yang ingin diketahui dari traffic yang masuk dapat diungkap kapan saja. Bahasa saya, digital marketing adalah satu-satunya jenis pemasaran yang bisa menjadi sangat presisi dan akurat. Keduanya, bisa mengakibatkan konversi yang tinggi dengan biaya yang minimum. Kata kunci keberhasilannya adalah pada pemanfaatan data yang terjaring.
Artinya, pekerjaan rumah untuk men-digitalisasi pariwisata Indonesia sangatlah banyak. Di era seperti sekarang ini, memang informasi yang bersumber pada internet menjadi andalan untuk menarik minat turis. Akan tetapi, mempunyai website saja tidak cukup. Atau mempunyai aplikasi di Google Play atau di App Store saja juga tidak bisa disebut sebuah keberhasilan. Tetapi bagaimana pasar pariwisata nusantara dan mancanegara memanfaatkan teknologi ini yang penting.
Mempunyai website atau aplikasi tetapi tanpa didukung oleh pemasaran yang kuat ibarat mempunyai gadis cantik yang dikurung di kandang. Tidak ada yang menengok, apalagi melirik. Menteri Pariwisata kita perlu didukung oleh pemasar digital yang handal. Beruntung, Indonesia adalah gudangnya pemasar jenis ini. Jutaan dollar tiap bulan masuk ke Indonesia karena anak bangsa yang berprofesi sebagai internet marketer. Saya yakin, mereka akan dengan sangat senang hati membantu Kementerian Pariwisata. Untuk pariwisata Indonesia yang lebih baik.