Kabar Gembira untuk Kita Semua, Google Play Store kini bisa di Chromebook!
Chrome. Otak-atik ternyata berbuah berkah. Setelah Chromebook-nya error, TheWiseYoda di Reddit menemukan bocoran fitur yang bisa membongkar rencana Google selanjutnya di pasar perangkat bergerak. TheWiseYoda, beserta teman sepermainannya InauspiciousPagan, membongkar bahwa Google berencana menyertakan Google Play Store di versi terbaru Chrome OS. Strategi ini diperkirakan dapat membunuh distribusi Android untuk komputer, seperti Remix OS buatan Jide atau PhoenixOS. Penyertaan Play Store pada Chromebook juga tentu saja dapat membuat Chromebook menarik bagi mereka yang ingin berkomputer dengan aman, namun terkendala koneksi internet.
Seperti yang kita ketahui bersama, Google memiliki dua sistem operasi. Kedua sistem operasi tersebut adalah Android untuk ponsel dan tablet, dan Chrome OS untuk laptop dan komputer (semacam Chromebit buatan Asus). Karena kedua sistem operasi tersebut ditujukan untuk perangkat yang berbeda, arah desain dan fungsionalitas yang ditawarkan oleh keduanya pun tentu saja berbeda.
Android dirancang untuk penggunaan layar sentuh dan aplikasi tunggal, sesuai dengan penggunaan di ponsel atau tablet. Karena itu, Android lebih cocok dipasang pada perangkat konsumsi media. Penggunaan Android untuk tujuan produksi konten sedikit sulit, karena ketiadaan fungsi multijendela dan multipengguna. Pabrikan yang menggunakan Android, seperti Samsung, pun akhirnya menambahkan fungsi tersebut sebagai tambahan fungsi pada antarmuka Android mereka. Sayangnya, penambahan fungsi ini menyulitkan pembaruan Android. Ini dikarenakan setiap fungsi yang ditambahkan harus diuji dengan versi Android terbaru, untuk memastikan bahwa tidak ada bug yang tersisa.
Walaupun akhirnya Android menambahkan fitur multijendela di Marshmallow dan fitur multipengguna di Lollipop, fitur bawaan ini masih kurang dapat dinikmati pengguna, karena penetrasi pembaruan Android yang rendah. Fitur-fitur tersebut pun tetap tidak membantu penggunaan Android di laptop, perangkat bergerak lain dengan pasar yang cukup besar. Tak heran, kita tidak terlalu sering mendengar laptop berbasis Android di pasaran.
Ketiadaan fitur manajemen pengguna dan keterbatasan manajemen perangkat terpusat pun menyebabkan Android kurang dilirik sebagai perangkat kantoran atau sekolah. Untuk dapat mengatur perangkat secara terpusat, pengguna harus memasang perangkat lunak pihak ketiga seperti Good atau Samsung Knox. Pengaturan perangkat yang disediakan pun disebut-sebut tidak sehebat Apple iOS. Pengguna pintar pun terkadang bisa menjebol fitur manajemen, sehingga dapat menggunakan perangkat untuk hal yang tidak diinginkan perusahaan/sekolah.
Beberapa usaha dari berbagai perusahaan untuk membuat Android lebih ramah laptop pun telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah Remix OS dari Jide. Remix OS mengambil kode dari Android Open Source Project, kemudian memadukannya dengan antarmuka desktop yang ramah pengguna. Jide pun merilis perangkat keras dengan Remix OS, yakni Remix Mini. Dengan dua pilihan spesifikasi (RAM 1GB dan ROM 8GB, atau RAM 2GB dan ROM 16GB), Remix Mini cukup sukses di pasaran independen. Pada bulan Agustus 2015, kampanye Kickstarter untuk Remix Mini menghasilkan 1 juta dolar. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya, Android memiliki kesempatan untuk merajai pasar desktop dan laptop.
Di saat yang sama, Google memiliki Chrome OS untuk laptop dan komputer. Sistem operasi yang dikembangkan mulai 2009 dan dirilis tahun 2011 ini ditujukan untuk mengatasi masalah umum pengguna komputer: virus, malware, dan pembaruan sistem. Chromebook yang berbasis Linux dan hanya dapat menjalankan Chrome adalah jawaban Google untuk Windows. Dengan keterbatasan fungsi Chrome OS, virus tidak dapat masuk ke sistem. Pembaruan sistem berkala pun tersedia untuk Chrome OS, berbeda dengan pembaruan sistem Android yang tergantung pabrikan perangkat. Belakangan, Google pun merilis program Chrome for Work, dengan fitur manajemen yang disebut-sebut setara dengan iOS. Dengan fitur-fitur tersebut, tak salah jika Chrome OS banyak dilirik pengguna komputer, baik rumahan maupun korporat.
Sayangnya, Chrome OS sangat bergantung pada ketersediaan internet untuk dapat berfungsi. Aplikasi bawaan Chrome hanya mencakup peralatan sistem dasar, seperti pemutar media dan catatan. Selain itu, pengguna hanya dapat memasang program dari toko aplikasi Chrome. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari aplikasi-aplikasi di toko aplikasi Chrome yang bekerja secara luring/offline. Keharusan penggunaan internet inilah yang membuat Chrome OS sulit diterima di pasar negara berkembang dengan koneksi internet terbatas. Selain itu, pembuatan ekstensi luring untuk Chrome pun disebut-sebut cukup menyulitkan pengembang.
Sebuah gebrakan pun dilakukan oleh Google untuk mengatasi hal tersebut. Pada acara I/O 2014, diumumkan bahwa Chrome akan mulai mendukung aplikasi Android. Hal ini dimungkinkan berkat Android Runtime for Chrome (atau ARC). Saat peluncuran ARC, diumumkan pula segelintir aplikasi yang langsung dapat dipasang di Chrome OS. Kemudian, pada Februari 2015, ekstensi ARC Welder dirilis oleh Google. ARC Welder memungkinkan pengguna Chrome (dan Chrome OS) menjalankan berkas APK apa saja. Ekstensi ini pun kemudian diperbarui untuk mendukung Google Play Services, sederetan layanan inti sistem Android (seperti push messaging). Namun demikian, ARC tidak mendukung banyak aplikasi Android. Pada Chromebook lama, kinerja ARC pun kurang baik. Karena itu, ARC hanya dianggap sebagai stopgap sebelum Google menemukan solusi lain.
Dengan dirilisnya Play Store untuk Chromebook, diharapkan jutaan aplikasi Android yang tersedia dapat membantu menutupi feature gap Android. Aplikasi-aplikasi Android yang umumnya bisa bekerja luring pun akan menjadi nilai tambah. Ketersediaan Chromebook murah, seperti buatan Hisense, juga dapat membantu Google memerangi Microsoft. Bukan tidak mungkin, Chromebook tersedia di Indonesia dan laku keras berkat fitur ini. Anda berminat?