Esia Minggat, FWA, dan Pelajaran dari Negeri Sakura
Esia. Siapa ingat Esia Kilau Warna? Perangkat seharga Rp. 299.000,- itu dulunya laku keras bak kacang goreng. Harga perangkat yang murah dan tarif telepon serta SMS yang juga miring melambungkan nama produk Bakrie Telecom ini di tahun 2007 hingga 2010. Banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat pada masa itu menenteng esia, demi penghematan, karena tarif GSM dianggap tidak masuk akal. Selain esia, operator Fixed Wireless Access (FWA) lain seperti TelkomFlexi, StarOne, dan Mobile-8 Hepi (yang kemudian menjadi Fren Duos) pun ikut memperebutkan pangsa pasar telepon dan data. Namun di banyak kota, CDMA tetap bersinonim dengan “Esia”.
Kini, kilau kejayaan Esia tinggal kenangan. Seiring tak diperpanjangnya lisensi FWA oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, praktis operator ini pun megap-megap. FWA, yang memungkinkan ponsel CDMA memiliki mobilitas terbatas dalam satu kode area adalah nyawa satu-satunya Esia — operator ini tidak memiliki lisensi selular. Kini, operator dengan warna logo dominan hijau ini sudah tinggal menunggu waktu kepunahan. Menyusul Flexi, StarOne, dan Fren Duos yang sudah tutup buku sejak tahun lalu.
Lonceng kematian Esia sebenarnya sudah berbunyi sejak 2015, saat mereka menutup layanan internet Max-D berbasis EVDO. Setelah layanan internet ditutup, pengguna hanya dapat menikmati layanan SMS dan telepon saja. Kemudian, pada bulan Januari 2016, Esia mengumumkan penutupan layanan di kota-kota selain Jakarta dan Bandung. Pada masa jayanya, Esia getol melakukan ekspansi ke seluruh Indonesia, dan hingga akhir hayatnya, Esia tercatat pernah beroperasi di 70an kota.
Pelanggan di kota-kota tersebut diminta untuk mengalihkan nomornya ke Smartfren, atau menggunakan pulsa dan nomor yang saat ini digunakan ke layanan VoIP milik esia, EsiaTalk. Janjinya, EsiaTalk menawarkan tarif obrolan murah ke nomor telepon dalam dan luar negeri, juga gratis bicara ke sesama pengguna EsiaTalk atau nomor esia lain.
Pelanggan di Bandung dan Jakarta, atau pelanggan yang memutuskan untuk menggunakan layanan EsiaTalk, pun bukan berarti bisa bernapas lega. Karena frekuensi milik esia sudah disewakan pada Smartfren, gangguan layanan pun mulai sering dialami oleh pengguna. Ujung-ujungnya, sejak Maret 2016, layanan Esia mulai mati secara bertahap bahkan di Jakarta dan Bandung. Sialnya, karena interkoneksi EsiaTalk juga menggunakan jalur esia, maka layanan EsiaTalk pun ikut-ikutan byarpet, hidup segan, mati ogah.
Kematian operator-operator berbasis CDMA FWA di Indonesia mengingatkan saya pada “kematian” Personal Handy-Phone System (PHS). Sebuah sistem jaringan telepon nirkabel yang dulunya cukup banyak digunakan di Jepang. FWA dan PHS dulunya sama-sama digunakan untuk mengatasi mahalnya tarif komunikasi selular. Pada masa kejayaannya, sama-sama laris manis diburu pelanggan. Tahun 2001, menurut asosiasi penyedia layanan selular Jepang, baik TCA dan PHS sempat memiliki lebih dari 5 juta pelanggan, yang terbagi pada beberapa operator, yakni DDI Pocket (yang menjadi Willcom), Astel, dan NTT Personal.
Pada masa keemasannya, kekuatan PHS ada pada tarif murah dan kecepatan akses data. Banyak pelanggan PHS yang merupakan pelanggan “tertolak”, seperti siswa SMP/SMA yang belum boleh memiliki kontrak ponsel sendiri dan pengguna yang mencari tarif data yang murah. Saat jaringan 2G PDC menawarkan kecepatan 9,6kbps, PHS dengan PIAFS sudah dapat mengalirkan data dengan kecepatan 128kbps. Pada akhir 90an hingga awal 2000an, kecepatan tersebut termasuk mewah, apalagi untuk ukuran ponsel.
Sayangnya, kejayaan PHS tak berlangsung lama. Peluncuran 3G dengan standar WCDMA oleh NTT DoCoMo di akhir 2001 mematahkan segala keunggulan PHS di bidang data. Meskipun jangkauannya belum luas, WCDMA mampu mengalirkan data dengan kecepatan tiga kali lipat PHS, yakni 384kbps. Selain itu, WCDMA juga menawarkan komunikasi suara yang jernih, suatu hal yang tidak mungkin ditawarkan PHS karena keterbatasan teknis. Konten-konten yang ada di iMode, sistem “walled garden” milik NTT DoCoMo, juga lebih beragam dan menarik, sehingga banyak pengguna muda yang kemudian mulai beralih menggunakan jaringan 3G milik DoCoMo.
DDI Pocket, sebagai operator PHS terbesar di Jepang, tentu tak tinggal diam. Mereka kemudian berinovasi dengan Air-EDGE, pembaruan teknologi yang memungkinkan transfer data hingga hitungan Mbps. Teknologi lanjutan PHS, yang disebut AXGP, pun telah ada dalam “roadmap” mereka. Namun, kesalahan manajemen membuat DDI Pocket terjebak utang. Operator tersebut kemudian mengganti namanya menjadi Willcom, dan berusaha merilis ponsel-ponsel baru yang sesuai dengan zaman. Namun demikian, Willcom tetap hidup segan mati tak mau, dengan jumlah pelanggan yang stagnan. Bahkan, sejak 2013, operator ini tak lagi melaporkan jumlah pelanggan pada asosiasi. NTT Personal dan Astel, dua operator PHS lain, telah menyerah jauh-jauh hari kepada nasib, dan melepas pelanggan mereka pada Willcom. Pada akhirnya, di tahun 2010, Willcom diakuisisi oleh SoftBank, untuk kemudian dilebur dengan eMobile menjadi Y!Mobile.
Dalam kasus ini, Esia sepertinya harus banyak berkaca pada Astel, NTT Personal, atau bahkan pada tetangga sekaligus rivalnya sendiri, yakni TelkomFlexi yang sudah almarhum sejak 2014 lalu. Saat ketiga operator tersebut kolaps, pelanggan setidaknya diberi tahu sejak jauh-jauh hari. Pelanggan pun diberikan kompensasi untuk pindah, baik berupa pemindahan nomor (untuk Astel dan NTT Personal, pelanggan bisa memindahkan nomor ke Willcom, dan pelanggan Flexi diberikan nomor Telkomsel dengan 6 angka yang mirip nomor asli pelanggan), pemberian subsidi, atau pengalihan panggilan saat proses transisi. Dengan demikian, pelanggan pun tak merasa dirugikan.
Kematian operator CDMA berbasis FWA, ataupun PHS di Jepang, memang menyedihkan. Namun demikian, laju perkembangan teknologi tetap tak dapat dibendung. Karenanya, untuk saat ini, marilah kita mengheningkan cipta sejenak sembari mendendangkan slogan esia dan menatap indikator sinyal yang perlahan menipis.
Untung (sudah tidak) pakai Esia!