Generasi Alfamart
Sudah berapa saja teman saya yang masuk ke bisnis online jualan kosmetik berasa mentok gak bisa nemuin pasar yang cocok untuk produknya. Ngiklan sudah dibolak-balik, adcopy ganti berulang-ulang dan sampai traffic juga di-diversifikasi ke traffic source lain, tetep saja mentok. Sambil garuk-garuk kepala (yang gak gatel), dia bilang : ini kenapa sih pasar lokal ya? Kok gini gini amat.
Bukan dia saja yang bilang, ternyata lebih mudah jualan barang di luar negeri daripada di dalam negeri. Seperti biasa, saya nyengir saja. Biasanya saya selalu bilang : jangankan elu, lha ahli ekonomi saja banyak yang salah memprediksi kok.
Kesalahan terbesar dari ahli ekonomi jaman now, dan pemasar online jaman now adalah : melihat pasar hanya dari kacamata angka. Semua hal yang berbau statistik hapal diluar kepala, tetapi selalu saja kehilangan momentum ketika melihat kepada fakta yang ada. Pemasar online kita sangat mendewakan data, ngulik depan komputer, sehingga lupa bahwa ada tren berbasis psikometrik yang terjadi di luar sana.
Baca juga : Inilah Mengapa, Bisnis Travel Agent Anda, Tidak Akan Bisa Mengalahkan Traveloka
Ketika saya mentok, ide udah gak keluar lagi, saya biasanya memilih sesuatu yang berbeda. Naek angkot atau naek bis, ke kantor misalnya. Keluar dari kotak, memilih untuk melihat apa yang terjadi di jalanan adalah salah satu cara saya untuk melihat sebuah fenomena secara holistik. Ini sangat membantu me-refresh berbagai angka dan statistik. Dan juga mengasyikkan. Cobain deh.
Atau seperti yang saya lakukan sekarang. Ini lagi nongkrong di depan Alfamart. Kebetulan di kompleks saya ada Alfamart yang letaknya sangat strategis. Persis di sebelah perempatan. Ada kursi-kursi dan meja payung yang bisa dipake duduk-duduk. Dan tentu saja, di sebelah pintu masuk Alfamart ada tulisan besar tentang wifi gratis dan passwordnya. Komplit sudah.
Meja sebelah kiri saya ada anak muda, bertiga, asik ngobrol. Di mejanya ada rokok dan minuman bersoda. Saya perhatikan dari tadi mereka ketawa ketiwi dan sesekali pegang handphone. Mereka sudah duduk disitu hampir dua jam dan tidak membeli barang apapun dari dalam minimarket.
Baca juga : Pasar Online Lokal Indonesia : Diantara Kedai Kopi dan Pemasaran Rasa Penasaran
Sebelah kanan agak jauh ada sepasang muda mudi. Gerak-geriknya mengindikasikan mereka sedang pacaran. Atau paling tidak sedang masa pdkt. Yang cowok, dengan potongan rambut ala Andika Kangen Band, sesekali ngelus kepala atau pundak yang cewek. Duduk agak berdekatan dan terlihat mereka gak risi juga diliatin orang banyak. Tidak banyak barang di mejanya, hp yang sedan di cas di powerbank dan teh di dalam kotak. Satu untuk berdua. Cuek.
Di kanan jauh agak ke depan, ada rombongan juga. Anak-anak muda, saya perhatikan dari enam orang yang ada di meja itu, ada saja yang merokok. Mereka dateng setelah saya. Pake sepeda motor yang kemudian dijajarkan rapi di pinggir jalan. Motornya juga sudah di modif. Ada yang pake knalpot suara kenceng banget. Saya ketawa dalem hati. Ini saya jaman masa keemasan dulu juga seperti ini. Hahaha..
Rombongan ini malah gak ada yang beli apapun dari dalem minimarket. Eh bentar, tadi ada satu orang yang masuk dan beli rokok. Sudah hampir satu jam mereka disitu, memakai wifi gratisnya, tetapi gak ‘consume’ apapun juga.
Ini yang saya bilang Generasi Alfamart.
Jadi ingat ketika medio tahun 2000an saya bekerja di salah satu media tabloid musik MUMU. Sekarang sih udah gak ada. Tabloid ini adalah penguasa pasar tabloid musik saat itu. Satu hal yang saya ingat adalah, ketika rapat redaksi untuk menentukan headline, ada beberapa kriteria yang harus ada. Seperti harus bisa mendongkrak oplah.
Anomali itu terjadi ketika dipilih SLANK sebagai headline. Siapa yang nggak tahu grup musik ini kan? Semuanya tahu. Mereka punya basis massa yang luar biasa. Fans-nya sangat fanatik. Asumsi kami pada saat itu, kalau dibuat headline, pasti oplah naik.
Kenyataannya tidak. Fans base SLANK tidak semudah itu membeli tabloid, walaupun yang berisi tentang SLANK. Terakhir kami baru menyadari, bahwa anak-anak yang suka SLANK rupanya tidak suka membeli tabloid. Lebih suka berbagi. Jadinya, beli tabloid satu, tapi yang baca berame-rame. Blaik.
Kalau tahun 2000an ada Alfamart. Mereka pasti akan nongkrong disitu juga. Secara demografi mereka sama. Hanya beda tahun lahir saja.
Masih kurang clue-nya?
Anda tahu berapa banyak orang yang menyaksikan video youtube Nella Kharisma yang berjudul Jaran Goyang? Sampai dengan hari artikel ini tayang, ada 165 juta lebih view. Kalau anda tidak tahu lagunya, liat saja di bawah ini.
Itu baru satu lagu. Tau lagu judulnya Konco Mesra dari Nella Kharisma ditonton berapa banyak orang? 76 Juta view saja. Belum ngeh juga? Masih videonya Nella Kharisma yang berjudul Bojo Galak. Sudah 56 Juta view.
Kalau anda penasaran yang trending di Youtube dalam seminggu terakhir, siapa coba? Apakah Raisa? Atau Afgan? Bukan bro. Yang trending itu ini. Via Vallen dengan lagunya : Sayang. Tahu video officialnya ditonton berapa banyak orang? Lebih dari 148 juta view. Edan!
Nah sekarang kita bahas Raisa. Lagu paling hits-nya, Jatuh Hati ‘hanya ditonton’ 18 juta view. Sementara, lagu ‘Mantan Terindah’ ditonton 10 juta view saja. Ada satu lagu yang ditonton oleh 28juta view, judulnya : Kali Kedua. Dah, itu sudah maksimal. Cubbish?
Apa hubungannya ini dengan bisnis kita?
Semua tahu, sebentar lagi kita akan mendapatkan ledakkan penduduk dengan demografi usia produktif. Ini berarti secara ketenagakerjaan, kita akan mendapatkan angkatan kerja yang sangat banyak. Tugas pemerintah untuk mencarikan mereka ini pekerjaan. Nah, tugas kita adalah untuk membuat mereka menghabiskan uangnya di toko online kita.
Nah, kalau booming demografi yang kita dapatkan adalah dari generasi Alfamart ini, matilah kita. Maka yang akan terjadi adalah : split test berminggu-minggu dan tidak menemukan winning campaign, ganti produk dan ganti angle pun percuma, waktu kita hanya habis dengan berharap. Sayangnya – Hope is not a strategy.
Tiba-tiba teman saya yang jualan kosmetik menelpon. Dia bilang sales-nya sudah mulai bagus. Dia cerita sudah menemukan kolam ‘orang jelek’ di Indonesia yang memerlukan bantuan untuk menjadi lebih cantik. Dia bilang begini : ternyata orang jelek-pun masih harus ditunjukkan dimana kejelekannya. Baru mau beli.
Ah, entah apa maksudnya.
Target pasarnya masih unyu unyu..ngak punya buying power…begitukah
Hu…
Baru pemaparan aja kah ? Atau sy yg ga nangkep…
Untuk solusinya ?
Apa sperti yg diakhir tulisan, about kosmetik.
dibaca lagi hu pelan-pelan..banyak kok yang tersirat 😀
Maaf Pak Wientor, saya tertarik dengan tulisan ini. Tapi jujur, saya sudah baca berulang-ulang tetap saya belum menemukan maksud asli dari tulisan ini.
Yang terbesit di pikiran saya mengenai tulisan ini ada dua hal, yang pertama yaitu konsep dari “beri dulu baru menerima” itu sudah hampir tidak berlaku, karena dari kasus wifi gratis alfamart tadi, ada konsumen yang bahkan hanya mengkonsumsi wifinya saja, bukan membelanjakan uangnya.
Yang kedua, apapun yang kita jual harus memiliki pembeda yang bukan hanya membedakan jualan kita dengan jualan lain, tapi secara tidak langsung bisa membedakan kelas konsumen itu sendiri (memanfaatkan gengsi dan sisi eksklusif?).
Tapi saya masih ragu dengan kesimpulan saya sendiri untuk tulisan ini, mungkin salah satu faktornya karena saya sedikit susah mencerna tulisan dibandingkan orang pada umumnya, sekaligus saya berpikir sambil dikejar deadline.
Mohon bantuannya, Pak. Apa ada yang luput dari pemahaman saya ? Terima kasih banyak.
artikel ini memperbolehkan pembacanya untuk ber-multi tafsir kok mas 😀
Aku Generasi Indomaret Point , ngikutin wa Husni Mubarok wkwkwk
tapi husni sudah punya istri bal hahaha #eh
Haduh bpk wientor,nyelipin video nella karisma lagi.keren lah,blog yg bapa bikin.
Btw,mau tanya : bener gk sih pasar indonesia itu untuk merayu konsumen ataupun penonton lebih menarik dengan cara visual yg hidup dalam strategi marketingnya?
Terima kasih
Lho, itu yang membuat kita menyukai instagram, karena sangat visual 🙂