Mengapa TikTok Shop Dilarang di Indonesia?

Saya masih termangu melihat sebuah pesan dari seorang kawan yang mengabarkan ada UMKM yang tiba-tiba masuk ke program flash sale di aplikasi Tiktok Shop tanpa pemberitahuan.

Produknya yang seharga 49 ribu berubah menjadi 100 rupiah dan tidak bisa dikosongkan. Dijanjikan akan diberikan kompensasi ternyata tidak terjadi. Dibayar hanya seharga flash sale saja. Kerugian nyaris 400 juta dan langsung bangkrut. Hilang sudah usaha yang sudah dilakukan bertahun-tahun.

Seminggu sebelumnya saya dikirim screenshot, ada seller yang menjual menjual produk kosmetik secara live streaming. Harganya seperempat dari harga kosmetik lokal. Terang-terangan mengaku produk impor dan berulang kali bilang produk yang dijual berijin edar, di negaranya. Artinya produk yang dijual tidak mempunyai ijin edar BPOM di Indonesia. Itu jelas barang ilegal.

Setiap ingat itu, level kekhawatiran saya meningkat. Tidak hanya mengenai praktek dumping harga atau kompetisi tidak sehat bagi UMKM. Seller dibiarkan bebas menjual produk tanpa ijin edar BPOM itu jelas berarti tidak mempedulikan kesehatan anak-anak kita yang membeli produk tersebut.

Tiktokonomi
Sejak dibawa masuk ke Indonesia pada bulan April 2021, Tiktok Shop merubah lansekap pemasaran digital bagi UMKM. Platform Tiktok yang tadinya berupa media sosial, berubah menjadi ecommerce. Dikarenakan sudah menjadi media sosial dengan pengguna lebih dari 100 juta, mengalihkan traffic untuk membeli barang menjadi lebih mudah.

Walhasil, platform bagi konten kreator video itu menjelma menjadi tempat jual beli produk. Para kreator diberikan kesempatan untuk menjadi affiliator, agar bisa mendapatkan penghasilan dari produk yang dipromosikannya. Awal dibukanya Tiktok Shop, produk lokal mendominasi penjualan di semua kategori. Istilah keranjang kuning, sebagai fitur sarana penjualan, menjadi masyur di kalangan penjual daring.

TikTok Shop di Inggris juga diluncurkan tahun 2021. Investigasi yang dilakukan oleh Financial Times mengindikasikan TikTok Shop dimonetisasi oleh TikTok melalui fitur bernama Trendy Beat. Berbekal data penjualan, Tiktok mulai memproduksi produknya sendiri di China kemudian didistribusikan oleh Seitu, anak perusahaan ByteDance, pemilik TikTok, yang berbasis di Singapura. Ini yang kemudian dikenal sebagai Project S.

Sebetulnya, Project S yang berbasis sistem penjualan crossborder ini bukan hal baru. Dari tahun 2013 penjualan dropship dari China sudah masuk ke Amerika dan berbagai belahan dunia lain melalui marketplace milik Alibaba Grup bernama AliExpress. Didukung oleh Pemerintah China, produk yang dibeli dari Aliexpress dapat dikirimkan ke seluruh dunia secara gratis, alias free ongkir.

Baca juga: Kerja di Start-Up atau di Korporasi? Kenali Plus Minusnya

Hanya saja, Aliexpress tidak mempunyai produk atau brand sendiri. Dari awal ini adalah platform marketplace yang menjadi sarana bagi pabrik atau perusahaan untuk memasarkan produknya. Selanjutnya, Aliexpress juga membuka kesempatan kepada supplier di luar China untuk onboard. Sejak tahun 2015, beberapa pabrik Indonesia juga tercatat berjualan di Aliexpress.

Sejak TikTok Shop dibuka di Indonesia, banyak anomali yang terjadi. Sebuah perusahaan cangkang di Hong Kong berdiri pada tahun 2019, meluncurkan produk skincare yang dinarasikan berasal dari Kanada (padahal bukan). Perusahaannya masuk ke Indonesia membuat badan hukum dan meluncurkan produknya pada di awal tahun 2022.

Saat ini produknya yang 100% dibuat di China itu menguasai pasar penjualan skincare di TikTok Shop. Bahkan, pada periode Januari-Mei 2023 merek ini meraih GMV 494 milyar rupiah. Tertinggi di platform itu pada kategori skincare. Tercatat 101 lebih produknya sudah mendapat ijin edar BPOM dan siap atau sudah meluncur ke pasar Indonesia.

Perusahaan yang sama, sekarang bahkan meluncurkan merek skincare keduanya. Dalam waktu sangat singkat, merek kedua ini merangsek masuk ke lima besar penjualan tertinggi.

Terpantau pada medio tahun 2021-2022, lima besar penjualan tertinggi kategori skincare masih didominasi merek lokal. Saat ini, dari lima merek skincare penjualan tertinggi, empat merek berasal dari China. Bukti nyata, Tiktokonomi membunuh skincare lokal di negaranya sendiri.

Monopoli
Project S sudah diklaim tidak akan masuk ke Indonesia oleh pihak Tiktok, tetapi sistem monopoli berlangsung dalam bentuk yang lain. TikTok Shop saat ini menjadi pintu masuk bagi produk China untuk memasarkan produknya di kalangan gen Z di Indonesia. Anak-anak remaja kita diiming-imingi produk dengan harga yang murah. Sangat murah bahkan, sengaja untuk membuat produk lokal tidak bisa bersaing.

Membanjirnya produk asing di TikTok Shop tidak terjadi begitu saja. Semua diorkestrasi dengan apik. Produk-produk kategori laku sudah dikirimkan dalam jumlah besar dan disimpan di pergudangan di Indonesia. Sehingga apabila terjadi penjualan, produk akan diterima pembeli dalam waktu singkat. Tiktok juga secara sengaja dan rutin membuat workshop bagi perusahaan China yang akan masuk pasar Indonesia melalui TikTok. Saya bahkan dikirim posternya.

Produk dan merek asal China ini kemudian mendapatkan kemudahan dengan dibantu algoritma. Salah satu co-founder merek skincare lokal bahkan mengungkapkan, sudah meniru persis konten video produk dari China, tetapi tetap saja hasilnya berbeda. Konten yang dibuat jarang menjadi FYP, berbeda dengan konten promosi produk China yang terus menerus FYP.

Tiktokonomi yang memonopoli penjualan (produk asing) dengan bantuan algoritma ini adalah bentuk baru penjajahan ekonomi. UMKM Indonesia yang sudah onboard digital tercatat sebanyak 22 juta dan berusaha masuk ke platform itu, dibuat kehabisan tenaga, lemas dan loyo agar berhenti di tengah jalan. Kompetisi penjualan didesain agar tidak berlangsung fair dan menguntungkan produk tertentu.

Platform bertindak seperti Tuhan, bisa menentukan produk mana yang akan mendapatkan exposure dan mana yang tidak. Dan semua dilakukan di tanah kita, di depan mata kita sendiri.

Regulasi
Berkuasa sebagai media sosial dengan traffic tinggi, TikTok mengunci semua aktivitas penggunanya di platform itu. Sebagai media sosial, memang algoritma platform dapat dikendalikan (baca: dirubah) dengan mudah untuk kepentingan tertentu. Jamak saja, hampir semua media sosial selalu melakukan update algoritma untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini.

Akan tetapi ketika ijin ecommerce diberikan untuk platform yang sama, bayangkan apa yang terjadi apabila platform tersebut membuat produknya sendiri. Atau dalam konteks di Indonesia, menyokong produk perusahaan yang berasal dari luar negeri. Tidak akan ada ruang untuk produk lokal berjaya disitu, dan ini sudah terjadi.

Bisa dipastikan, apabila tidak ditindak dengan cepat, Tiktokonomi akan mematikan UKM. India sangat paham ini dan sudah melarang TikTok disana.

Ribuan program yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas UMKM, tetapi luput memproteksi dari serbuan platform luar yang berniat menghisap habis darah UMKM.

Kita terkadang lupa, bahwa UMKM kita menopang kokoh ekonomi negara ini. 99% populasi usaha di Indonesia adalah UMKM. 60,5% PDB Nasional kita berasal dari sektor UMKM dan 97% pekerja kita juga bekerja di sektor UMKM. Disebut menjadi pahlawan pada setiap krisis ekonomi, tetapi tidak ada red carpet yang digelar.

Malah, sambutan meriah justru ditunjukkan ketika CEO TikTok datang ke Indonesia pada bulan Juni lalu. Mengumbar janji akan membantu UMKM tetapi kenyataannya Tiktok justru menjadi kuda troya yang berbahaya dengan menjadi pintu masuk bagi produk asing untuk dikonsumsi oleh anak-anak kita. Bahkan barang ilegal-pun.

Kejadian perang di Ukraina yang menggangu pasokan supply chain global mulai meruntuhkan narasi globalisasi. Setiap negara kini berpaling kepada konsep economic security dengan mengedepankan nasionalisme dan proteksi. Masing-masing harus melindungi ekonomi domestiknya.

Menghentikan aktivitas TikTok sebagai ecommerce adalah bentuk proteksi kedaulatan ekonomi. Jutaan UMKM harus dilindungi dari platform asing yang memanfaatkan celah untuk menggeser produk lokal dengan cara culas, seperti monopoli penjualan, price dumping atau algoritma memihak.

Faktanya, 99% populasi usaha di Indonesia adalah UMKM, dan 97% angkatan kerja kita juga bekerja di sektor ini. Ketidakseimbangan ekosistem secara radikal pasti akan mengakibatkan guncangan ekonomi domestik. Jangan sampai terlambat untuk mengambil kendali atas kedaulatan digital kita, sebelum diinjak-injak oleh platform asing dan secara perlahan kita menyaksikan pasar domestik direbut paksa. Tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Naudzubillahimindzalik.

Artikel terkait

6 Komentar

  1. Ijin share ya bos, biar makin banyak rakyat indonesia yg pinter dan nggak gagal paham dgn kebijakan pemerintah menutup tiktok. Sangat bagus tulisan anda enak dibaca dan mudah dipahami, terima kasih.

  2. Maaf bang, dari sekian juta sarjana IT Indonesia memang gak ada yg bisa buat seperti tiktok ? Gak ada yang bisa saingi tiktok dan sistim algoritmanya, atau blah blah apanya lah secara sehat ? Apa kita cuma punya seorang menteri yang cuma bisa melarang dan beberapa pendukungnya ? Banyak jg lho afilite yg susah dapet kerjaan, pelaku UMKM juga kurir yg kena imbasnya.sepi hilang penghasilan

    1. Boleh kok diinisiasikan untuk membuat seperti TikTok, bagusnya dari sektor private yang buat. Dan seperti yang disebutkan ditulisan saya, kita regulasi (bukan dilarang) agar tidak merugikan kita dalam jangka panjangnya.

  3. Terus untuk produk skincare yang sudah memiliki badan hukum di negera ini gimana ya pak ? Apakah produksi importnya di batasi yang memaksa dia harus cabut atau tetap berkelanjutan .

    Saya sepakat semua yang bapak katakan .

    Kalau bisa dengan lingkup bapak yang gede membantu negara bisa memiliki sosial media dan ecomerce buatan lokal sendiri .

    Seperti halnya china yang membenned semua sosial media luar dan mereka hanya pakai sosial buatan bangsa sendiri .

    Jadi untuk kendali masyarakat serta ekonominya kuat .

    Semoga pesan ini bisa membantu bapak untuk menciptakannya .

Berikan komentar

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *