Generasi Baru UMKM

GENERASI BARU UMKM

Seperti kata Presiden Jokowi, pandemi ini seperti api. Membakar dan menerangi. Sebisa mungkin kita hindari, tetapi kalau tetap terjadi, banyak hal yang bisa dipelajari.

Masa pandemi yang sudah berlangsung dua tahun lebih ini memunculkan banyak anomali yang menyenangkan.

Merek lokal untuk clothing dan sneakers mengalami lonjakan penjualan. Bahkan di beberapa kesempatan, produsen sneakers lokal pada saat peluncuran produk kolab dengan salah satu band ternama, dapat menjual 1000 lebih pasang dalam waktu 2 menit. Youth & culture movement, termasuk inisiasi beli produk lokal kembali membahana.

Seorang teman yang berjualan sepatu dan tas sekolah secara daring, penjualannya meroket sampai 200% pada masa pandemi. Ini lucu dan susah dipahami, karena bahkan sekolah masih meliburkan sekolah offline.

Hal lain, info dari kawan di Pekalongan, penjualan daster juga meningkat keras selama pandemi.

Secara spesifik, produk-produk yang mengalami lonjakan penjualan adalah produk dalam kategori home decor, furniture, herbal & wellness dan kuliner kemasan.

Di sektor formal, Pemerintah Provinsi DIY, yang sudah ketar ketir karena sektor pariwisata dan edukasinya lumpuh karena pandemi, ternyata berhasil mendorong ekspor produk UMKM. Dinas Koperasi & UKM DIY melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mensubsidi shiping cost bagi UKM yang ekspor. Ini membuat nilai ekspor produk UKM melonjak tajam.

Digitalisasi

Bagi saya, dan juga menurut pandangan dari Pemerintah, men-digitalisasi-kan UMKM adalah salah satu jalan keluar untuk menyelamatkan diri sekaligus membuat UKM naik kelas.

Data dari IDEA menyebutkan, selama pandemi, tiap bulan rata-rata terdapat 500 ribu UMKM yang mendaftar masuk ke platform marketplace. Dua tahun ini mengalami tingkat pertumbuhan yang luar biasa. Sebelum pandemi hanya terdapat 7 juta UMKM yang sudah on-board digital, sekarang sudah lebih dari 16 juta.

Hampir setiap hari, ada sekitar 3000 program digitalisasi UMKM yang berjalan di semua kementerian, BUMN, maupun dana CSR korporasi. Semua bertujuan sama: digitalisasi.

Setelah mengobservasi program yang sama, kenyataannya digitalisasi hanya tepat untuk audience di atas 40 tahun, atau UMKM yang berada di daerah, terutama luar pulau jawa. Literasi digital di area demografi dan geografi itu memang masih perlu banyak ditingkatkan untuk mengimbangi infratruktur digital yang sudah meluas.

Pada sisi yang lain, anak-anak muda perkotaan sudah mulai pengenal digitalisasi sejak lahir. Salah satunya adalah Dewa, seorang anak kelas 4 SD yang mempunyai toko di marketplace dan menjual hasil gambarnya. Bahkan Dewa dengan pede-nya sudah melakukan live di platform tersebut untuk berjualan.

Anak-anak yang lahir tahun 90an dan awal 200an (Gen Z), mereka belajar dengan sangat cepat tentang berbagai produk digital. Hidup berbarengan dengan sosial media, membuat generasi baru ini bersosialisasi cepat dalam dunia digital. Termasuk memanfaatkan berbagai fitur yang ada di dalamnya.

Perbedaan dengan anak lama (yang lahir sebelum ada internet), adalah Gen Z ini pintar dalam berjualan dan sangat adaptif terhadap lingkungannya. Kurangnya satu, kurang memperhatikan pondasi bisnis.

Bahasa mudahnya, kalau anak dahulu memulai bisnis akan memperhatikan betul kondisi keuangan, sumber daya manusia sampai dengan pencatatan finansialnya. Anak sekarang berbeda, mereka senang menjual. Yang penting produknya terjual, yang lain menyusul.

Salah?

Nggak juga. Semua ada jaman dan momentumnya sendiri sendiri. Bukan juga berarti anak lama bisnisnya bakal berhasil dan anak gen Z bakal gagal. Bukan begitu.

Menarik juga melihat bagaimana teknologi memberikan ruang bagi anak-anak yang tidak mempunyai previledge (anak konglo atau anak pejabat jaman dulu misalnya) untuk dapat maju ke depan dan mengambil peran. Mari kita meunggu di finish line.

Artikel terkait

1 Komentar

Berikan komentar

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *