Kalau Semua Ada di Google, Buat Apa Sekolah?

Sekolah. Hari ini saya agak sedikit gusar, atau lebih tepatnya sedih. Ada search query yang masuk ke BixBux seperti ini : Kalau semua ada di Google, buat apa sekolah? Dan tiba-tiba pikiran saya dejavu ke sebuah omongan pesulap sohor Deddy Corbuzier yang mempertanyakan : Pentingkah sekolah? Keduanya mempunyai sudut pandang yang sama dan lebih penting lagi, keduanya merepresentasikan kondisi saat ini yang sudah semakin banyak manusia Indonesia mempertanyakan kualitas sistem pendidikan di negeri yang kita cintai ini.

Sebagai seorang pendidik, tentu saja saya sangat prihatin dengan berbagai pertanyaan yang meragukan cara kami mendidik ini. Deddy bahkan secara eksplisit menunjukkan kenyamanan dengan menyekolahkan anaknya di sekolah international. Menurutnya, pendidikan di sekolah international ini tidak memaksa anak untuk memperlajari yang tidak diperlukan. Straight to the point saja, menukik kepada hal yang disukai oleh anak-anak. Gak perlu belajar sejarah katanya, karena anaknya gak ingin jadi guru sejarah. Saya nyengir lebar.

Ketika saya menulis ini, saya sedang berada di Singapore. Sebuah negara kecil yang maju luar biasa. Tidak ada satu negarapun yang meragukan eksistensi negara singa ini. Persis ketika saya sampai sini, sehari kemudian Founding Father-nya meninggal. Lee Kuan Yew, umur 91, yang selama ini dianggap sebagai bapak bangsa Singapore dipanggil menghadap-Nya dengan sangat tenang setelah sakit sekian lama. Lee Kuan Yew ini seangkatan dengan dengan pemimpin besar ASEAN yang lain, seperti Soeharto dan Mahathir Mohammad. Lee Kuan Yew memimpin Singapore selama 3 dekade dan berhasil membuat Singapore menjadi negara teratur dan tertib seperti sekarang ini. Karena kejadian itu, selama saya di Singapore, suasana duka sangat terasa. Siaran televisi, radio dan berita di koran adalah tentang Mr Lee.

Tetapi ada satu hal saya cermati. Walaupun sedemikian banyak orang menunjukkan kesedihan. Terlihat jelas, yang paling kehilangan adalah generasi baby-boomers yang sekarang berusia 50 tahun ke atas. Kakek-kakek dan nenek-nenek Singaporean ini banyak terlihat menangis dan betul-betul kehilangan. Mereka tahu betul kehebatan Mr Lee membawa Singapore menjadi negara yang berdaulat setelah berpisah dengan Malaysia di tahun 1965. Anak-anak muda Singapore kemana? Ada banyak juga yang berduka, tetapi lebih banyak yang tetap belanja dan atau nongkrong di coffee shop. Mereka terlihat biasa saja. Cuek. I bet, mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah.

Rasanya terlalu jauh juga kalau saya sebut quote-nya Bung Karno : Jas Merah, Jangan pernah melupakan sejarah; sebagai quote yang sungguh humble dan brilian. tetapi begitulah kenyataannya. Kemarin ketika saya ngobrol dengan supir taksi di Singapore, dia bilang negaranya dalam masa yang rawan ditinggal Lee Kuan Yew. Orang muda-mudanya mendapatkan tantangan keras karena harus bekerja extra keras untuk bisa hidup di negara itu. If you work lazy, you die ~ begitu katanya. Ini dikarenakan biaya hidup yang gila-gilaan, gaji dipotong biaya pensiun sebesar 20% belum lagi buat makan dan fashion. Kata uncle supir taksi itu, punya gaji SGD2.500 (Sekitar 24 juta rupiah) sebulan itu minim banget buat anak muda disini. Kalau dalam waktu 4-5 tahun gaji masih segitu, dipastikan gak akan bisa nikah. Kurang bro!

Eh, kok malah jadi ngobrolin Singapore.

school photo
Photo by kevin dooley

Balik lagi ke searchquery yang masuk ke BixBux tadi. Apabila ini mewakili pandangan kaum remaja di Indonesia, maka pilihannya hanya dua : ikutin arus atau lawan arusnya. Pemerintah punya power untuk melawan arus, tetapi suatu saat arusnya akan terlalu kencang untuk dilawan.

Saya sendiri mengakui, sistem pendidikan di Indonesia masih belum sempurna. Perlu banyak perbaikan sana-sini. Anies Baswedan, menteri pendidikan yang sekarang, paling tidak mempunyai idealisme untuk memperbaiki itu. Pendidikan kita saat ini mempunyai pesaing invisible yang namanya Google. Bedanya, pendidikan kita bisa didesain untuk seperti yang kita mau. Sementara Google tidak ada saringannya, bablas masuk ke pikiran anak-anak kita.

Mari kita get to the bottom deh. Kenapa sih anak-anak kita harus sekolah? Kalau jawabannya biar pinter, itu so 1980’s. Waktu saya sekolah SD dulu, tiap pagi sebelum berangkat sekolah selalu dielus rambut saya oleh bapak dan dibisikin : sekolah yang pinter ya win, biar besok gede jadi dokter. Tipikal orang jaman dahulu menyekolahkan anaknya biar jadi pinter. Jaman sekarang, pinternya harus terdefinisi lebih jelas. Pinter musik, pinter bikin patung, pinter fisika, pinter kimia atau pinter-pinter yang lain.

Ada 2 hal yang menurut saya mendasari pemikiran tentang pinter yang spesifik ini : (1) kekhawatiran orang tua dan (2) kompetisi masa datang akan lebih ketat. Poin yang pertama mendominasi semuanya. Anak jaman sekarang berbeda dengan anak jaman dulu. Bahasa saya, anak jaman sekarang lebih cepet pinter daripada jaman dulu. Anak saya yang umur 8 tahun sudah cas cis cus kalo ngomong Inggris. Logatnya Harry Potter banget. Semua buku disekolahnya pake bahasa Inggris. Bapaknya bentar lagi pasti kesalip ngomong Londonnya hehe..

Orang tua jaman sekarang juga serba paranoid. Saking paranoidnya, sang anak dipaksa masuk ke sekolah yang terbaik, diantara yang terbaik untuk menjadi yang terbaik. Lho bukannya memang harus begitu? Memang iya, tapi musti dilihat kemampuan anaknya juga dong. Kalau untuk menjadi yang terbaik itu artinya setiap jam diisi dengan sekolah dan les, tunggu bentar. Mari kita posisikan diri kita, ang orang tua ini, jadi seorang anak SD jaman sekarang. Setiap hari sekolah, kemudian pulang sekolah harus les sampe jam 19-20 malem. Tidak ada lagi keriangan anak yang bersosialisasi dengan teman-temannya.

Saya gak tahu Deddy Corbuzier mengeluarkan berapa puluh juta buat nyekolahin anaknya di sekolah internasional, tetapi yang jelas gak semua orang punya kemampuan untuk itu. Kalau Deddy merasa sekolah anaknya adalah yang terbaik, maka menurut saya, sekolah yang terbaik bukan hanya yang bisa memunculkan potensi sang anak, tetapi juga menjaga agar anak kita tetap menjadi seorang anak, dan bukan robot yang harus terus menuruti kemauan orang tuanya untuk menjadi yang terbaik. Termasuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional yang jam sekolahnya sampai sore, apakah ini yang terbaik untuk anak, atau untuk orang tuanya yang sibuk dari pagi sampai sore?

Paranoid itu tidak selamanya jelek. Sikap ini membuat kita waspada. Tetapi terlalu berlebihan juga bukan solusinya. Anak kita adalah anak kita. Mereka perlu bermain, bercengkrama dengan teman-temannya, tertawa riang dan berlari-larian dengan bebas.

Tetapi memang hal yang paling menakutkan bagi orang tua adalah masa depan anak. Kita semua sadar betul tingkat kompetisi pada saat anak kita besar nanti sudah sangat berbeda dengan apa yang kita rasakan sekarang. Landscape-nya sudah berubah. Anak kita akan berkompetisi dengan anak yang lebih pinter, lebih spesifik dan lebih mengerti dia mau kemana. Ini yang membuat kita, mau tidak mau, mempersiapkan anak kita untuk bisa memenangkan kompetisi dengan baik.

Seperti apa masa depan itu? Yang saya berani bilang adalah seperti ini. Kondisinya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Dari tahun 1980an kita dihipnotis bahwa Indonesia merupakan negara industri. Semua serba terstandarisasi. Apa yang diajarkan di sekolah adalah hal-hal yang sangat terstandar, seperti di pabrik. Masuk jam 7 teng, istirahat 15 menit, masuk lagi, kemudian istirahat makan siang dan masuk lagi sampai denga pulang ke rumah. Persis kayak kerja di pabrik kan? Ya karena pola pikir pabrikan masih nyangkut di pola pembelajaran dan kurikulum dasar kita. Nanti semuanya berbeda. Eranya industri jasa. Ketika orang dengan keahlian tertentu lebih dihargai daripada orang yang mempunyai keahlian sama dengan orang lain. Semakin unik keahlian kita, semakin mahal bayaran yang diterima. Menjadi dokter itu mudah, tapi dokter dengan keahlian akupuntur masih jarang. Jadi teknisi komputer juga pekerjaan generik, tapi teknisi komputer yang khusus nge-backup data akan memunculkan keunggulan bersaing yang lebih banyak. Pekerjaan beraliran jasa macam artis, designer, programmer, chef, akuntan, pengacara sampai dengan seorang wine sommelier (ahli wine) akan sangat dihargai mahal.

Bayangkan kalau anak kita adalah anak yang generik, tahu semua, harus bersaing dengan anak yang mempunyai keahlian spesifik. Sampai kapanpun anak kita akan terpinggirkan karena tidak mempunyai skill yang khusus. Itulah makanya, anak sekarang didorong untuk dapat tahu bakatnya dari ketika masih kecil. Lihat saja tes uji bakat anak yang ada saat ini, bayarnya semahal apapun tetep laku. Semata-mata karena ketakutan orang tua yang berlebihan kalau anaknya terlambat tahu bakatnya kemana. Walaupun mungkin secara science dapat dibuktikan, tetep aja saya ketawa tipis kalau ada anak yang diuji bakatnya di umur 2 tahun, atau 4 tahun. Come on, they’re still kiddos!

Jadi, penting gak sekolah. Menurut saya, penting. Kenapa? Simpel, karena anak kita harus tahu bagaimana lingkungan sekitarnya. Dia harus berteman dengan dengan sebanyak mungkin anak-anak yang lain dan menghabiskan masa anak-anaknya dengan menjadi seorang anak. Bukan, bukan karena saya ingin anak saya menjadi anak yang pinter. Saya sadar betul, pendidikan itu justru lebih banyak dilakukan di luar sekolah. Anak saya mau ranking berapa juga gak ada masalah (untungnya disekolahnya tidak ada sistem ranking). Papanya juga tidak menuntut banyak.

Tetapi dia harus menjadi anak yang mengerti norma dan etika, menghormati gurunya, menghargai teman-temannya, mempunyai tanggung jawab akan tugas sekolahnya, menghormati orang tuanya, tahu sejarah bangsa ini, tahu bagaimana menyanyikan Indonesia Raya sampai dengan mengerti bahwa bekerja dalam kelompok itu berarti tidak harus menjadi pemimpin, tapi harus berkontribusi. Anak saya harus bisa menjadi anak yang bisa memandang langit dengan hati yang tetap berada di bumi. Dan itu semua, menurut saya, hanya bisa diajarkan oleh sekolah. Bukan di Google. Dengan segala keterbatasan waktu kita, sebagai orang tua.

Artikel terkait

20 Komentar

  1. Sekolah tetap penting.
    Sekolah yang pertama bagi anak adalah di dalam kandungan seorang ibu. Orang tua adalah sosok figur yang utama bagi pendidikan anak. Mengembalikan kodrat utama seorang perempuan sebagai pendidik anak yang utama juga memberikan nilai yang lebih kepada masa depan anak anak. Saat ibu hamil 9 bulan masa yg rawan pembentukan akhlak dan nilai bagi anak. Anak anak yg terabaikan disekolahkan formal sementara kedua orang tuanya sibuk mencari uang juga bisa menjadi bumerang bagi masa depan anak anak . Menjadi anak anak yg acuh terhadapt nilai2 kehidupan. Bukan Sekolah yang penting atau tidak penting. Tapi mengembalikan porsi PENDIDIKAN pada posisinya yang lebih tepat, baik formal maupun non formal

  2. Setuju banget. Seseorang gak akan bisa belajar bagaimana mengimplementasikan norma dan nilai yang baik, menghormati guru, dan bertanggung jawab melalui google. Semua itu butuh interaksi.
    Gak hanya di sekolah, lebih penting lagi jika diajarkan di lingkungan rumah, dan masyarakat.

    Pada akhirnya anak emang kayak sponge bang, cepet banget nyerapnya. Kalau sampai disalip bahasa londonnya, kayaknya wajar-wajar aja. :p

  3. Dunia digital sudah tidak bisa dihindari lagi dan anak didikpun bisa jadi saat ini lebih “pintar” dari gurunya. Bahkan anak saya saja yang berusia 3 tahun setiap harinya tidak lepas dari tablet tapi saya sebagai orang tuanya hanya memperbolehkan anak saya menonton lagu anak anak, menari dan saya tidak memperbolehkan untuk main game dulu.
    Untuk dunia pendidikan kalau menurut saya ada baiknya guru saat ini mengajari anak anak didik belajar norma dan sopan santun. Saya jadi ingat dulu waktu saya SD kalau dari gerbang sekolah guru kami datang kami pasti saling berebut untuk membawakan tasnya walaupun mungkin ini adalah hal yang sepele tapi tanpa kita sadari disitu kita diajarkan untuk menghormati guru kita. Sebagai orang jawapun ketika kami harus bicara dengan orang yang lebih tua ada namanya kromo inggil, tapi anak jaman sekarang ? ponakan saya pun kadang kadang harus bertanya dulu apa arti bahasa jawa ini ? hadeuh
    Jadi kesimpulannya dunia digital sudah tidak bisa kita hindari dari kehidupan kita tetapi walaupun mbah google mampu “mengajari” anak kita tanpa harus ke sekolah tapi sekolah itu masih perlu untuk mengajarkan norma dan sopan santun pada anak didiknya

  4. Sebagai pengajar gambar yang melihat banyak orang berbakat gambar bisa kerja bebas tapi tetap aja perhari 8 jam juga sih kadang krn hobi banget bisa 12 jam an.. saya melihat google punya potensi utk mengarahkan dan membina orang yang berbakat sedang sampai tinggi.. khusus gambar orang bisa belajar dari youtube terutama selain dr artikel yang banyak sekali dan tidak beraturan di google. Saya berharap google bisa lebih mengarahkan elemen elemen di internet khusus pendidikan sehingga mereka bisa lebih terstruktur seperti kurikulum sekolah sehingga banyak anak bisa belajar mandiri tanpa perlu sekolah. rasanya seperti mimpi saja google bisa cerdas menyusunkan elemen elemen ilmu di internet menjadi kurikulum sekolah bahkan kuliah. semoga ini bisa diwujudkan krn sekarang sudah memasuki era pengolahan data besar besaran bukan era data awan lagi. mengapa saya berharap kesana karena ini penting utk humanity dimana banyak negara tertinggal akan terbantu dgn proses pengolahan data raksasa secara cerdas oleh google terbaru yang bisa menyusunkan elemen elemen ilmu di internet menjadi kurikulum mandiri krn negara tersebut memang ga jago nyusun kurikulum super seperti di negara maju.

  5. Menurut saya sekolah tetap penting… walaupun sekarang sudah ada om baru yaitu Google tidak sama dengan jaman penjajahan tetapi sekolah pastinya yang nomor satu… bagaimana kita bisa memahami Google tanpa sekolah, kan harus pintar ngebaca dulu, jadi mulai TK atau SD dulu untuk belajar Membaca, bagaimana cara kita belajar membaca kalau di Google. Kan susah… hehehehe dan yang paling penting kalau disekolah itu banyak interaksi yang bisa saja terjadi untuk menambah wawasan pengetahuan seperti halnya Interaksi sosial bertatap muka untuk melatih cara berbicara kita… betul-betul kan

  6. Tambahin ah komentar.
    Pendidikan memang penting, dan pendidikan bisa di dapat di mana saja, tidak harus di sekolah.
    Tetapi jika ingin mengenyam pendidikan di sekolah, itu pun tak mengapa.

    Yang jadi sorotan Mas Wientor adalah pembelajaran akan hal-hal lain di luar ilmu pengetahuan, seperti sosialisasi, interaksi dengan sesama, belajar menghormati.

    Menurut teori saya, (karena belum punya anak, jadinya berteori)
    Kalaupun orang memutuskan belajar dari Google atau mungkin dari situs edukasi semacam Khan Academy, hal non ilmu juga masih bisa didapatkan.
    Misalnya kalau di gereja ada organisasi anak muda yang melakukan berbagai macam kegiatan.
    Degala macam interaksi ke samping, ke atas, ke bawah itu ada. Dan mereka bisa belajar dari situ.

    Saya belajar tentang rasisme bukan dari sekolah. Tapi lingkungan. Saya belajar bahwa rasisme hanyalah alasan yang dipakai untuk membenci, juga hasil mengamati lingkungan. Kebetulan di sekolah anaknya bae-bae :).

    Apakah ada tempat-tempat lain yang bisa mengompensasi, pembelajaran akan hal-hal non ilmu pengetahuan? Well… belum kepikiran, tapi mungkin pembaca yang lain bisa memberikan masukan.

  7. Sekolah pasti tetap diperlukan dalam kehidupan bersosial dan perpendidikan, Google menjadi pelengkap dalam menambah ilmu dan wawasan 🙂

  8. iya mas. makanya anak kami umur 1,5 tahun, bulan kmrn kami ikutkan tes analisis sidik jari. stidaknya, kami ingin tahu n punya bekal gmn pola belajar & potensi multiple inteligence nya sedini mgkn. meski faktor eksternal/lingkungan jg kelak akan bpengaruh

Berikan komentar

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *