Tantangan Terbesar Abad Ini Untuk Pemasar (Online dan Offline) Itu Bernama : Product Development!
Marketing. Yang pertama kali ingin saya garis bawahi sebelum anda membaca tulisan ini adalah : mengapa pemasar harus bertanggung jawab atas produk? Bukan kah ini adalah tugas dari bagian produksi? Wrong! Sejak diperkenalkan konsep Marketing Mix oleh Neil Borden pada tahun 1953, tugas pemasar bertambah dengan mengurusi produk, price, place (distribusi) dan tentu saja, promosi. Kalau ada yang mengaku pemasar tetapi gagap produk atau bahkan tidak tanggap produk. Sejatinya dia bukan pemasar sejati.
Baca juga : 5 Alasan Mengapa Internet Marketing Seharusnya Diajarkan di Sekolah Bisnis di Indonesia
Di era digital seperti ini, peran growth hacker sungguh sangat diperlukan. Ini adalah pemasar model baru. Pemasar yang sepenuhnya mendedikasikan dirinya pada produk. Bukan pada pasar. Aneh ya? Kalau anda mengikuti bagaimana perkembangan seorang Steve Jobs maka anda akan paham bahwa produk development sangat penting. Kekuatan sebuah produk yang didukung dengan proses inovasi yang tidak lagi incremental, tetapi brutal. Tidak hanya mengembangkan produk menjadi lebih baik, lebih besar atau lebih canggih, tetapi merombak total performa dan tampilan.
Saya masih ingat ketika Steve Jobs menceritakan bagaimana iPad bisa terbentuk. Awalnya adalah dari informasi yang didapat oleh perusahaan industri komputer tentang kebutuhan market akan produk yang smaller, portable dan faster. Semua produsen komputer pada saat itu menterjemahkan keinginan pasar tersebut dengan membuat NetBook. Masih inget bagaimana Netbook merajai di taun 2012an? Akan tetapi, buat Hewlett-Packard, Lenovo, Asus bahkan sampai dengan Sony menganggap NetBook adalah kegagalan. Disisi lain, Steve Jobs dengan cerdasnya menterjemahkan : smaller, portable dan faster menjadi sebuah iPad dengan menambahkan feature music player iTunes. Tidak perlu saya sebutkan siapa yang masih bertahan sampai dengan sekarang kan?
Steve Jobs adalah seorang marketer.
Steve Jobs juga seorang growth hacker.
Jadi apa sebetulnya yang terjadi saat ini? Tugas seorang Director Of Marketing tidak lagi semata-mata mendatangkan traffic ke website. Atau ngulik iklan, dealing dengan agency bahkan membuat brosur. Twitter, sesaat setelah Go Public, menyadari bahwa membuat orang untuk signup ternyata mudah. Tetapi membuat orang untuk nge-twit dan keranjingan login adalah sesuatu yang berbeda. Tim pemasaran Twitter kebingungan. Jumlah signup banyak, tetapi ya sudah, habis itu tidak ada aktivitas lain. Kemudian datanglah seorang growth hacker, Josh Elman, yang khusus direkrut untuk mengatasi masalah ini. Melihat kepada statistik yang ada, Elman kemudian menemukan sebuah pola : apabila ada orang yang signup dan kemudian di hari dia signup itu memfollow lima sampai sepuluh akun lain, maka dia mempunyai kecenderungan menjadi akun yang aktif.
Elman kemudian merubah kebijakan suggested follow untuk user baru. Yang tadinya, setelah signup, user baru secara default harus memfollow 20 akun secara random. Sekarang user baru diberikan kesempatan untuk memilih 10 akun yang akan di follow. Selebihnya diberikan suggested siapa yang harus di follow di sidebar. Tidak ada lagi pilihan default. Inovasi ini kemudian diikuti oleh Facebook dan Pinterest. Bukti perubahan sederhana pada produk bisa membawa perubahan sigfikan pada perilaku pengguna.
Baca juga : Memahami Perilaku Pasar Wanita Online di Niche Kosmetik Dari Herbeautymasker.Com
Secara metrik Facebook menemukenali bahwa user baru yang menambahkan tujuh friends dalam waktu seminggu akan menjadi user yang aktif dan mempunyai engangement rate yang tinggi. Untuk perusahaan game, Zynga, metriknya adalah tentang hari pertama setelah install. Apabila user membuka lagi game-nya setelah hari pertama, berarti dia berpotensi untuk menjadi user yang loyal. Lain lagi dengan DropBox, bukan masalah seberapa banyak yang signup, tetapi bagaimana meng-encourage yang sudah signup untuk menaruh file di folder Dropbox yang dipunyai. Semua yang disebut ini sepertinya adalah masalah teknikal. Padahal bukan. Ini adalah tanggung jawab baru seorang marketer.
Ehm. Saya melakukan sebuah sampling yang sangat sederhana. Karena background saya perhotelan, akhirnya saya pilih pemasar bidang perhotelan sebagai sample-nya. Saya mewawancarai beberapa orang pemasar di hotel berbintang atau chain hotel. Sebagian besar dari mereka adalah yang berhubungan dengan e-commerce (ini adalah sebutan sebagian besar hotel untuk funnel sales internetnya) dan sosial media. Pertanyaannya sederhana : Bagaimana memasang Pixel tracking di Facebook? And guess what? Tidak ada satupun yang bisa menjawab. Saya hanya geleng-geleng kepala. Kalau gak bisa nge-track kedalaman traffic-nya yang dari sosial media, trus apa gunanya ada posisi itu? Mungkin mereka hanya posting, update status dan balas pertanyaan di socmed. #sedih
Artinya begini, diperlukan jenis pemasar yang baru untuk mendapatkan market yang baru pula. Dalam kasus di atas, kesamaan produk yang dipunyai setiap hotel membuat daya ungkit sebuah produk menjadi rendah. Kalau kata Andrew Chen : It’s an amazing time, and a new breed of creative, technical marketers are emerging.
The discipline of marketing is shifting from people-centric to API-centric activities. Growth hackers embody the hybrid between marketer and coder needed to thrive in the age of platforms.
Sebeum era yang sekarang ini, ilmu pemasaran sangat bergantung kepada communication channel seperti koran, tivi, radio dan bahkan pola distribusi konvensional seperti keagenan atau retailer. Untuk mencapai pasar sasaran, dulu juga harus dibantu oleh advertising agency, pubic relation agency sampai sosial media agency. Saat ini seuanya sudah bergeser, untuk perkembangan distribusi yang cepat anda memerlukan platform API, bukan sarjana bergelar S2. Business development is now API-centric, not people-centric.
Saya catat: seorang marketer ulung harus fokus pada produknya. Growth hacking fokus pada produk bukan seberapa besar sign Up atau fokus pada seberapa banyak yang antusias. Bukan seberapa banyak brosur yg berhasil dibagi
Makasih mas 🙂