Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Matinya Yahoo!? Renungan Massal Untuk Pebisnis Online
Sempat turun sejak 2011, billboard ini naik kembali untuk sementara. (c) Adweek
Yahoo! Di akhir dekade 1990an hingga awal 2000an, Yahoo! adalah sinonim internet, sama halnya dengan Google di masa kini. Dengan berbagai layanan gratis yang vital bagi kelangsungan hidup warga internet kala itu, tak ada yang bakal menyangka Yahoo! bakal memiliki masa depan suram. Tentu banyak di antara kita yang masih menggunakan alamat email Yahoo, pernah mengalami serunya mengobrol di kanal obrolan Yahoo! Messenger, memiliki situs web statis di (almarhum) Geocities, atau mengunggah foto-foto beresolusi tinggi ke Flickr.
Sayangnya, kini kejayaan Yahoo tinggal kenangan. Sejak 2007, Yahoo telah mulai menutup berbagai layanan yang awalnya disediakan secara gratis, karena menurunnya jumlah pengguna. Layanan seperti Geocities, Yahoo! 360, Yahoo! Avatars, dan Yahoo! Go secara perlahan dinonaktifkan, demi mengurangi kerugian. Sayangnya, upaya ini tidak terlalu menolong kondisi keuangan Yahoo, karena perusahaan hingga kini masih berada dalam zona merah. Pada kuartal 1 2016, perusahaan yang dikomandoi Marissa Meyer ini mengalami penurunan pendapatan 12 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Bahkan, Marissa Meyer akan segera meninggalkan Yahoo, dengan pesangon sebesar 55 juta dolar.
Penurunan pendapatan ini tentu bukan kabar yang sedap didengar oleh para investor. Yahoo pun menyadari hal ini, dan dikabarkan tengah mencari pembeli untuk bisnis inti internetnya. Pembeli akan mendapatkan berbagai teknologi Yahoo!, termasuk layanan email gratis Yahoo! Mail, layanan microblogging Tumblr, dan layanan berbagi foto Flickr. Sebenarnya, kabar dijualnya Yahoo bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 2008, Yahoo! sempat hampir dicaplok Microsoft, dengan nilai tawaran 44,6 milyar dolar AS. Sayangnya, manajemen Yahoo menolak tawaran ini, dan masih mencoba bangkit dari zona merah. Sayangnya, usaha tersebut nampaknya sia-sia.
Lalu kini, berapa harga Yahoo? Agaknya sulit memasang harga untuk situs yang dulunya merupakan raksasa internet ini. Namun, beberapa analis menilai bahwa aset-aset inti Yahoo masih bisa terjual dengan harga 4 hingga 10 milyar dolar AS. Perhitungan tersebut belum termasuk kepemilikan saham Yahoo di Alibaba, yang nilainya juga milyaran dolar. Namun demikian, tetap saja harga tersebut masih sangat jauh lebih murah dibanding penawaran Microsoft delapan tahun lalu. Sebenarnya, ada apa dengan Yahoo, sehingga perusahaan yang dulunya besar ini bisa mengalami kemunduran dramatis?
Salah satu alasan kemunduran Yahoo adalah tidak adanya fokus jangka panjang. Untuk dapat meraih kesuksesan, sebuah perusahaan harus memiliki fokus operasional dan strategi jangka panjang yang baik. Sejak awal, strategi Yahoo adalah “menjadi semua hal untuk setiap orang”. Yahoo tidak memiliki fokus pada layanan atau produk tertentu, sehingga di masa jayanya, Yahoo rajin membuka (atau membeli) dan menutup layanan baru. Kebiasaan ini tidak hilang bahkan setelah Yahoo! berada di zona merah. Sebagai contoh, untuk meraih basis pengguna di Indonesia, Yahoo mengakuisisi Koprol pada 2010. Setelah dianggap tak menguntungkan, Yahoo pun mengembalikan Koprol pada pemiliknya pada pertengahan 2012. Hal yang sama juga terjadi pada Astrid, layanan manajemen tugas berbasis Android yang diakuisisi pada bulan Mei 2013 dan ditutup pada bulan Agustus di tahun yang sama.
Kebiasaan Yahoo membuka dan menutup layanan mengikuti tren pasar ini tentunya berakibat buruk bagi masa depan perusahaan. Penutupan layanan, sekecil apa pun basis penggunanya, bisa mengakibatkan perusahaan mendapat stigma “tak tepercaya”, terutama jika tidak ada cara menyelamatkan data pengguna. Kepercayaan pengguna yang menurun tentu berakibat juga pada penurunan jumlah kunjungan (dan tampilan iklan).
Ketiadaan fokus juga menyulitkan Yahoo menentukan dan mengembangkan layanan inti. Di saat Google terus mengembangkan algoritma mesin pencarinya, Yahoo nampaknya sudah menyerah, dan beralih menggunakan hasil pencarian dari Bing sejak 2009. Yahoo Mail pun nampaknya tak banyak mendapat penambahan fitur, di saat Hotmail (kini Outlook) dan Gmail berlomba-lomba menambahkan berbagai fitur yang memudahkan pengguna berkirim surat elektronik. Yahoo pun kehilangan momentum di pasar pesan instan. Padahal jika Yahoo mau berusaha membuat aplikasi ponsel pintar yang lebih cantik dengan fitur setara klien desktopnya, Yahoo berkesempatan melindas Line, WhatsApp, maupun Viber. Flickr dan Tumblr pun disebut-sebut menerapkan aturan yang tak ramah pengguna, di saat pesaingnya berlomba mengambil hati eks pengguna kedua situs tersebut.
Sebagai pengguna, melihat kematian situs yang dahulu menjadi sinonim internet tentu menyedihkan. Namun demikian, tentu ada pelajaran yang bisa kita ambil dari matinya Yahoo. Sudahkah kita memiliki fokus jangka panjang untuk mengembangkan usaha atau layanan internet yang kita tawarkan? Jangan-jangan, nanti usaha kita disebut dalam dongeng; “Dulu, ada suatu situs, namanya…”
Miris juga lihat yahoo yang sekarang padahal email account yg pertama saya gunakan adalah yahoo dan digunakan untuk verifikasi email di fb
Jangka panjang dan fokus.. fokus.. fokus.. *kebawa mimpi*
Fokus mimpi? Hihi
sangat sedih yahoo telah melemah. padahal dulu saya selalu pakai yahoo…
artinya terlalu comport zone dan enggak ada inovasi memang sangat membahayakan