Mengapa Industri Hotel Selalu Tertinggal Teknologi?

Teknologi adalah sebuah change driver yang sangat seksi. Change driver, dalam arti yang sangat luas, berarti tekanan yang dapat merubah sebuah organisasi bisnis, baik dari internal maupun eksternal. Dalam hal ini, teknologi, jelas sekali merupakan pressure yang berasal dari luar organisasi.

Berbeda dengan change drivers yang lain, secara karakteristik, teknologi seharusnya bisa menjadi enabler dari sebuah perubahan. Di beberapa kasus, adaptasi teknologi membuat perusahaan secara signifikan meningkatkan keunggulan bersaingnya sehingga dapat meninggalkan kompetitornya jauh di belakang.

Sayangnya, hal yang demikian tidak terjadi di industri perhotelan. Belum ada satu hotelpun di Indonesia yang berani meng-klaim bahwa teknologi yang dipunyai membuatnya unggul dibandingkan hotel yang lain. Dari sisi lain yang sangat berbeda, saya malah berani bilang, industri perhotelan adalah industri yang lebih cocok disebut dinosaurus.

Ini semata karena industri perhotelan tidak pernah menjadi early adopter teknologi, tetapi selalu menjadi late majority atau bahkan laggard. 

See pic below.

Lets go details.

Beberapa saat lalu, saya diminta untuk memaparkan presentasi tentang disrupsi teknologi di bidang perhotelan di hadapan audience yang mostly adalah General Manager sebuah hotel. Saya bertanya ke salah satu peserta tentang customer mix (segmen pasar) yang dipunyai sekarang, apa bedanya dengan 15 tahun lalu ketika dia masih menjadi seorang Sales Executive. Beliau secara tegas menjawab : online market. Saya setuju.

Ketika pertanyaan saya teruskan, sekarang hal apa yang menyita banyak waktu anak buahnya di Sales Department? Jawabannya simpel: Sales call.

Saya tidak kaget.

Disrupsi digital yang demikian keras memang membuat banyak General Manager sadar bahwa ada jenis baru (tapi lama) segmen pasar Free Individual Traveler (FIT) yang memilih melewati channel yang bernama Online Travel Agent (OTA). Saya bilang ini jenis segmen lama karena segmen jenis ini tidak pernah digarap serius oleh industri perhotelan.

Lihatlah angka persentasi tamu yang Walk-in, paling hanya berkisar 1%-2% saja setiap bulannya. Sepertinya memang tidak layak untuk diperhatikan. Apalagi apabila dibandingkan dengan segmen pasar Korporat, Pemerintahan, atau bahkan Travel Agent. Way too low.

Makanya tidak heran, aktivitas promosi Sales Call atau Personal Selling menjadi primadona, dari dahulu.

But things have changed.

FIT yang dahulu disepelekan, sekarang merajalela. Digitalisasi membuat FIT yang tadinya secara konvensional datang langsung ke hotel (atau menelpon), sekarang hanya dengan 4 kali klik di OTA bisa langsung mereservasi kamar hotel yang mereka kehendaki. Market online mulai mendominasi customer mix di hotel.

Sekira enam/tujuh tahun lalu, saya masih ingat jawaban beberapa General Manager ketika saya bertanya tentang segmen pasar yang majority di hotelnya. Dengan bangga menjawab: OTA. Saya hanya mengelus dada sambil geleng-geleng. Kena deh jebakan betmen.

Akhir-akhir ini hotel mulai menyadari bahwa kekalahan ‘bargaining position’ pada saat bertarung dengan OTA membuatnya kembali berpikir tentang strategi-nya. At some point, yes, OTA sangat membantu. Tetapi disisi lain, tuntutan menjaga ADR (Average Daily rate) juga menyulitkan.

Tujuh tahun kemudian, waktu sekarang ini maksudnya, banyak hotel yang mulai menyadari bahwa kepasrahan kepada OTA, long-term wise, ternyata tidak menguntungkan. Saat ini mulai banyak hotel yang berusaha memaksimalkan reservasi web-direct. Traffic mulai diarahkan ke website hotel sendiri. Walaupun dengan tingkat keberhasilan yang masih harus diuji, tetapi niatnya sudah ke arah yang benar.

Diperlukan waktu tujuh tahun bagi industri hotel untuk belajar dan mempelajari. Tujuh tahun menjadi laggard. Well, better late than never.

Bukti lain?

Dynamic pricing yang sudah sekian lama menggantikan publish rate di industri perhotelan, pertama kali dikenalkan oleh Robert Crandall, Chairman dari American Airlines, pada awal periode 1980an. Konsep harga dinamis ini dipakai karena pada saat itu terjadi perang harga antar airlines yang apabila diteruskan akan merugikan industri airlines.

Implementasi dynamic pricing dalam revenue management ini baru dipakai di industri perhotelan pada awal 1990 oleh Marriott International. Bersamaan dengan meluasnya penggunaan perhitungan revenue management di hotel, beberapa perubahan dilakukan untuk menyesuaikan, salah satunya dengan ditariknya departemen reservasi yang tadinya dibawah Front Office ke Sales & Marketing.

Diperlukan waktu 10 tahun, dari 1980 ke 1990an, bagi industri hotel untuk menyerap dan menerapkan konsep yield management (baca: revenue management) ke dalam industrinya. Kalau berkaca kepada langkah teknologi, 10 tahun adalah waktu yang sangat lama untuk mengadopsi. Sekali lagi, industri hotel menjadi a laggard. Sad, but yet true.

Paling tidak, ada 3 (tiga) alesan yang membuat industri perhotelan sangat lambat menerima dan mengabsorbsi teknologi, yaitu:

1. Alasan Traumatik.

Setiap kali muncul teknologi baru, industri hotel selalu saja berada dalam posisi yang kalah. Selalu saja begitu. Saya mencatat kekalahan hotel ini sudah terjadi berkali-kali.

Mari kita catat berapa banyak teknologi digital yang dipakai oleh sebuah hotel. Paling tidak, sebuah hotel akan memakai Property Management System (PMS) sebagai backbone administrasi dan pelaporan. Masih ingatkah berapa banyak modul yang ditawarkan oleh perusahaan penyedia PMS? Semua sistemnya dipecah sehingga hotel tidak mempunyai pilihan untuk tidak memilih. Semakin banyak yang dipilih, ya tentu saja semakin mahal biayanya.

Lainnya? Ketika OTA muncul pertama kali, betapa repotnya hotel meng-update allotment di masing-masing OTA sampai muncul beberapa situs channel management. For free? Tentu saja tidak. Ditambah lagi dengan komisi OTA yang membumbung tinggi (12%-17%) membuat hotel meredefinisi lagi marketing budget-nya.

Loosing or winning? Loosing of course.

Winning itu kalau hotel bisa menciptakan sistem-nya sendiri dengan tanpa bergantung dari perusahaan lain. Sistem baru ini harusnya terintegrasi semua, mulai dari PMS, central reservation, sistem CRM, revenue management sampai dengan channels management. Bisa gak sih hotel bikin begini? Bisa lah. Oursourcing saja.

2. Alasan Birokratik

Duetto Research (2019) mencatat salah satu alasan mengapa hotel sangat lamban mengadopsi teknologi adalah karena hotel ini, secara nature, adalah industri yang highly fragmented. Saya meng-analogi-kan, hotel itu kalau berdiri dan beroperasi, banyak panitia-nya. Mulai dari owner, owner rep, corporate, management company, sampai dengan asset management company. Belum lagi kompleksnya mengelola hotel yang dikomandoi oleh general manager dan head of department-nya.

Banyak yang terlibat, berarti banyak yang berkepentingan. Itu juga berarti hirarki pengambilan keputusan akan sangat panjang. Belum lagi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi di masing-masing level decision maker.

Seorang GM sebuah hotel chain international pasti pernah mengalami hal-hal yang membuat owner terluka tetapi dengan alasan yang berbeda, justru keputusannya didukung oleh parents company (corporate). Hal semacam ini hanya contoh kecil betapa birokrasi masih menjadi isue besar di beberapa hotel.

3. Alasan Historik

Hotel adalah sebuah properti yang high-investment. Tingginya nilai investasi hotel membuat industri ini menjadi salah satu industri yang mempunyai entry barrier yang tidak mudah dimasuki oleh pemain baru.

Investasi hotel ini membuat sebuah properti hotel menjadi gemuk dan susah beradaptasi dengan teknologi baru. Biasanya, investasi teknologi dilakukan pada saat hotel akan berdiri dan kemudian secara infrastruktur digarap sesuai dengan kebutuhan. Pergantian teknologi setelahnya, akan sangat memberatkan dari sisi biaya dan tenaga untuk kembali membangun infrastruktur baru.

Ketiga alasan ini yang menurut saya menjadi dasar mengapa industri hotel sangat rigid terhadap teknologi baru. Walaupun agak berat, tetapi semoga industri perhotelan di Indonesia tidak tertelan dan tertekan oleh teknologi yang berubah dengan sangat cepat. Karena tidak ada yang linear ketika kita berbicara tentang teknologi, semua akan berubah menjadi eksponensial. Siap-siap.

Artikel terkait

2 Komentar

Berikan komentar

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *