Tajir Melintir

Ketika saya lulus kuliah dulu, ketika masih bekerja di salah satu hotel di Jakarta, saya berlangganan majalah SWA. Di dalamnya seringkali dibahas tentang profil pebisnis dengan penjabaran bisnis yang digelutinya. Ini adalah salah satu kolom kegemaran saya, sampai saya tahu bahwa tokoh muda yang dibahas adalah generasi kedua (atau ketiga) penerus bisnis itu.

Kemudian saya melakukan riset kecil-kecilan, ternyata sebagian besar tokoh yang diangkat sudah kaya dari kecil. Lahir jebrol punya duwit banyak, dari bisnis bapaknya. Setelah mengetahui itu, saya berhenti berlangganan SWA. Gak asik. Please, take note terlebih dahulu : tidak ada yang salah dengan lahir kaya raya. Toh kita tidak bisa milih siapa orang tua kita juga.

Tetapi kok rasanya saya lebih suka membaca perjalanan bisnis orang dari nol, dari miskin atau dari yang gak punya apa-apa sampai bisnisnya menggurita kemana-mana, daripada membaca perjalanan bisnis anak kaya raya yang sekolah di luar negeri.

Ibaratnya, kalau anda anak orang kaya, sekolah di luar negeri trus masih gagal juga, itu mah kebangetan.

Oiya, sampai sekarang kegemaran saya membaca buku/ artikel/ biografi pebisnis atau tokoh yang saya anggap inspiratif masih saya lakukan. Sambil berharap ada pelajaran yang bisa dipetik untuk akselerasi yang saya lakukan sekarang.

Kaya Raya Indonesia

Adalah majalah Globe Asia yang mengeluarkan daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Selain Globe Asia, Forbes juga mengeluarkan daftar orang terkaya dunia (dan Indonesia) setiap tahunnya. Entah bagaimana cara survey-nya, tetapi daftar orang terkaya ini menginspirasi. Terutama buat anda yang sedang berusaha untuk menjadi kaya.

Orang-orang tajir melintir ini, secara mayoritas, berusia di atas 60 tahun. Biasanya yang seusia itu adalah generasi pertama, atau pendiri perusahaannya, dan masih aktif. Kalau misalnya mereka memulai segalanya di usia 20 tahun, berarti selama lebih dari 40 tahun usianya dipakai untuk mengembangkan bisnisnya secara masif.

Misalnya lagi, perjuangan mereka di awal tahun dahulu masih terseok-seok, 5 tahun saja, berarti masih ada 35 tahun untuk membuat dirinya tajir melintir. Sementara ‘learning curve’ dari setiap orang berbeda-beda. Jadi pertanyaannya adalah : bagaimana mungkin selama jangka waktu 35 tahun orang ini bisa mempunyai bisnis yang sangat besar dan mempekerjakan ribuan orang secara bersamaan?

Saya akan membagi kelompok menjadi tiga.

Yang pertama, adalah yang berumur lebih dari 60 tahun. Biasanya mereka adalah pioneer di bidangnya. Memulai dari nol dan dekat dengan penguasa saat itu.

Kedua, yang berumur 40-60an, beberapa dari mereka adalah generasi kedua dan berhasil mengembangkan bisnis orang tuanya menjadi sangat besar. Kemampuan bisnis yang dipadukan dari pengalaman orang tua dan sekolah yang bagus membuat mereka ini menjadi pebisnis ulung.

Ketiga, adalah yang masuk ke dalam daftar dan berumur dibawah 40. Ini yang menarik, karena semua orang ingin menjadi seperti mereka.

Bisnis Orang Kaya

Ada hal menarik yang bisa diambil kesimpulan pertama dari apa yang dilakukan agar menjadi kaya raya. Yang pasti tidak ada satupun dari mereka yang karyawan atau PNS. Semuanya pengusaha. Ada yang kemudian menjadi pejabat publik. Tapi tetep, akar mereka adalah pengusaha. Ini sekali lagi membuktikan, bahwa jalur satu-satunya untuk menjadi kaya raya adalah dengan berbisnis.

Bisnis apa saja yang bisa membuat kaya raya? Paling tidak, berkaca dari 150 orang paling kaya se-Indonesia, ini ada empat kategori bisnis yang dilakukan :

1. Bank.

Atau boleh juga punya bisnis finansial yang lain, seperti investor (capital), asset management, finance atau bahkan asuransi. Tap yang paling banyak dimiliki oleh konglomerat yang ada di daftar adalah : Bank.

Orang terkaya di Indonesia, Robert Hartono dan Michael Hartono, adalah owner Djarum. Mereka juga mempunyai BCA, salah satu bank terbesar di Indonesia. Orang terkaya kedua, baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu, Eka Tjipta Widjaya, adalah pendiri Sinar Mas Grup. Dia juga punya bank. Yang lain, ada Chaerul Tanjung (Bank Mega), Mochtar Riady (Lippo), Dato Sri Tahir (Mayapada) dan ada beberapa lain yang mempunyai bank.

Kalau orang bisnis beras, gak mungkin dia gak bisa makan. Kalau bisnisnya uang, gak mungkin dia gak punya uang. Ya kan?

2. Tambang.

Orang kaya yang ada di daftar, pasti mempunyai bisnis tambang atau produk turunannya. Selain tambang, paling tidak bisnis kelapa sawit. Kebanyakan tambangnya batubara.

3. Properti.

Ini juga bisnis yang paling banyak dipunyaioleh taipan di Indonesia. Rata-rata mereka menanamkan uangnya pada tanah kosong dan kemudian mulai pembangunan belasan tahun kemudian. Kebayang kenaikan harga tanahnya.

4. Consumer goods (termasuk rokok).

Owner Wings Group ada di list orang terkaya. Hampir semua owner perusahaan rokok juga bercokol disana.

Nah, gak perlu punya keempat usaha di atas buat jadi kaya. Punya salah satu saja sudah dijamin tujuh turunan bisa makan enak. Apalagi kalau punya tiga atau empatnya. Beberapa konglomerat yang ada di daftar mempunyai keempatnya.

Jaid, kalau anda bisa masuk ke bisnis yang ada di atas, saya jamin anda akan menjadi tajir melintir.

Problemnya cuma satu, bisnis di atas sudah penuh sesak dengan pemain lama. Dan mereka akan berusaha keras untuk menghalangi pemain baru bermunculan. Ini yang membuat kesempatan anak jaman sekarang untuk menjadi kaya raya agak tertutup.

Saya bilang ‘agak’ tertutup. Peluang selalu ada tetapi kecil banget. Beberapa bisnis dari generasi pertama sudah dilengserkan ke generasi kedua yang dari kecil mapan ekonomi dan bersekolah di luar negeri.

Pebisnis jaman dulu ini, mereka sangat pintar dalam menjaga relasi. Banyak dari mereka yang merupakan orang dekatnya Pak Harto. Jangan dilupakan, Pak Harto memang secara sengaja menerapkan sistem ekonomi konglomerasi dengan memberikan beberapa hak ekslusif untuk produksi dan distribusi kepada pengusaha kesukaannya. Contoh yang masih relevan adalah Astra dan Indofood.

Pebisnis old skool ini mengembangkan bisnisnya dengan bantuan dari pemerintah kala itu. Bisnisnya secara sengaja diproteksi oleh pemerintah.

Oleh karenanya, bisnisnya menjadi tidak ada saingan dan membesar dengan cepat. Karena mereka sudah terlanjur besar, akan sulit bagi pebisnis baru untuk terjun di bidang yang sama. Bahkan ketika proteksi itu tidak ada lagi, antar pebisnis jaman dulu menciptakan sebuah ekosistem dengan ‘entry barrier’ yang tinggi. Sehingga pebisnis baru akan berpikir ribuan kali untuk masuk ke sana.

Jadi, kemungkinannya sangat kecil bagi pebisnis jaman sekarang untuk masuk ke tambang, sawit, rokok, bank, asuransi dan bahkan properti.

Khusus untuk properti, pengusaha sekarang akan disingkirkan dengan mudah karena perusahaan properti ‘lama’ sudah membeli tanah dari puluhan tahun lalu. Bayangkan berapa besar margin yang di ambil apabila properti dibangun saat ini.

Khusus untuk kluster pengusaha yang kedua, yaitu yang berumur 40-60 tahun, ada beberapa pengusaha media. Bos-nya MNC, Hary Tanoe dan pemilik Metro TV, Surya Paloh contohnya. Kran media di Indonesia baru dibuka di tahun 1980an, jadi bisnis mereka baru menggurita setelahnya.

Selain dari bos media, ada generasi kedua yang meneruskan bisnis keluarga. Sandiaga Uno salah satunya. Atau Rachmat Gobel. Sandiaga Uno kemudian mengembangkan bisnis keuangan dengan Saratoga dan Recapital. Selain itu, Sandi juga mengembangkan Adaro, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi.

Mau seperti mereka? Susah bro. Ini generasi kedua pebisnis dalam negeri. Mereka orang kaya dari lahir yang mendapatkan kesempatan lebih untuk menuntut ilmu lebih baik dari kita semua. Tentu saja pada akhirnya mereka memiliki mindset yang juga berbeda.

Bisnis yang diambil dari generasi kedua ini kebanyakan meneruskan bisnis orang tuanya, tetapi dengan sentuhan pembaruan. Ini yang membuat bisnis mereka menjadi meledak karena perpaduan antara gaya lama dan gaya baru.

Yang menarik ada di kluster ketiga, konglomerat di bawah 40 tahun. Tidak ada satupu dari mereka yang mengambil ceruk bisnis dari pebisnis ‘old crack’. Tidak ada satu dari mereka yang berbisnis batubara, bank, media atau bahkan consumer goods. Padahal uang berkumpul disitu.

Orang seperti William (Tokopedia), Nadiem (Go-Jek), Zaky (Bukalapak, dan Ferry (Traveloka) mempunyai model bisnis yang sangat berbeda dari pendahulu mereka. Mereka juga berbisnis melalui media yang sama : Teknologi. Sesuatu yang tidak digarap oleh pebisnis lama.

Walaupun ke-empat anak muda pemilik start-up unicorn ini masih dibawah 40 tahun, tetapi kekayaaannyajangan ditanya. Yang paling bontot saja (urutan 150) adalah Nadiem Makarim (Go-Jek) mempunyai total kekayaan US$100 juta – hitung sendiri deh berapa rupiah tuh.

Kalau dibandingkan dengan pengusaha lama, anak-anak muda ini baru nongol belakangan. Bayangin, mereka baru nongol setelah tahun 2010an. Sampai dengan tahun ini, bisnis mereka belum juga berusia 10 tahun. Bandingkan dengan para ‘old crack’ yang menghabiskan seumur hidupnya (40-50 tahun) untuk membangun bisnisnya.

Jadi, ada dua kesimpulan yang bisa diambil apabila anda ingin masuk ke dalam majalah Globe Asia atau Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia di masa yang akan datang :

1. Teknologi.

Bukan hanya memakai teknologi, tetapi jadilah perusahaan teknologi. Cuma dengan berbisnis teknologi anda akan bisa melesat tinggi tanpa perlu khawatir gangguan dari pebisnis/ konglomerat lama. Ini adalah niche bisnis yang tidak dimengerti oleh mereka.

Era revolusi industri 4.0 ini semakin menasbihkan teknologi sebagai pilihan utama. Kalau anda bisa masuk ke industri Artificial Intelligence (AI), atau Robotics, atau Neural Sensor, atau Biotechnology, atau perusahaan sejenis ini, segeralah dikerjakan. ‘The next cash-cow’ ada disini.

2. Model bisnis terbarukan.

Ini penting! Lupakan model bisnis yang lama dan pikirkan sesuatu yang baru. Bukalapak, Tokopedia dan Go-Jek bukan perusahaan yang ‘mengambil untung’ dari pemakainya. Tetapi dari investor yang masuk. Model bisnis semacam ini tidak terpikirkan oleh ‘orang-orang dahulu’.

Sustainability model bisnis baru ini memang akan bergerak terus dan selalu dinamis. Aset tangible besar perusahaan tidak menjadi ‘keunggulan kompetitif’ bagi perusahaan, tetapi digantikan oleh reputasi, interaksi dan inovasi.

Nah, sekarang pilihan ada di tangan anda. Kalau ingin kaya saja sih, bisa dari mana saja. Tapi kalau ingin tajir melintir buat 7 turunan, kaya raya dan masuk ke Forbes, jangan harap terjadi kalau anda masih berpikir primitif, berbisnis seperti 10-20 tahun tahun yang lalu.

Artikel terkait

7 Komentar

  1. Saya jg pengen kaya. Siapa sih yang gak kepengen kaya. Masalah timbul bisa darimana saja. Tetapi sepertinya para kaya raya generasi teknologi di indonesia, mereka seperti mulus2 saja. Kayaknya sih. Boleh tahu, apakah sekarang bapak ini sudah kaya?

  2. Wah hampir sama Pas kuliah dicekokin terus majalah SWA karena kampus punya relasi dekat dgn majalah SWa jadi cukup banyak mendapat edisi majalah SWA, ( Fikom unpad best fakultas ilmu komunikasi versi SWA)

    Awalnya sangat menarik karena bahasanya memang sudah bukan basic lagi, minimal bahas level midle seperti konsultan atau agency hingga orang terlanjur kaya

    Namun setelah lulus baru sadar utk jadi entrepreneur dari 0, kurang cocok majalah swa seperti yg dibahas om wientor bahasan orang yg sudah terlanjur kaya, belum cocok untuk pemula

    Sekarang sama om lebih senang baca orang yg fight dari 0 hingga kaya

    Thanks om pencerahan nya, teknologi terutama internet adalah peluang lompatan

Balas komentar Konveksi seragam Batalkan

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *