Kapitalisme Data – Siapkah Kita Untuk Kembali Kalah?

kapitalisme data
Gambar : Storyblocks

Kalau anda mempunyai keluarga kecil seperti saya, dengan istri dan satu anak yang sudah beranjak gede (umur 12 tahun), maka anda akan merasakan kesulitan yang sama ketika akan berlibur ke luar negeri. Saya pusing memilih kamar hotel. Anak saya ada dalam kategori yang remaja tanggung yang di beberapa hotel sudah diwajibkan memakai bed sendiri – atau paling tidak extrabed – sementara ada beberapa hotel yang masih memperbolehkan dia bersama dengan twin atau kingsize bed.

Saya sangat berhati-hati memilih hotel, dengan melihat term & condition secara teliti. Itupun ketika kami tiba di Phuket, hotel masih agak ngotot agar anak saya pakai extrabed.

Baca juga : Generasi Alfamart

Hotel adalah salah satu industri yang masih rigid terhadap Big Data. Sehingga menyulitkan bagi kami sekeluarga untuk memilih kamar hotel yang pas. Mungkin kalau hotel-hotel domestik lebih mudah di nego. Mungkin.

Search engine tidak menyediakan informasi secara spesifik tentang kamar yang saya mau, sedangkan Online Travel Agent (OTA) juga tidak menyediakan filter khusus untuk itu. Hampir semua OTA menyediakan kamar berdasarkan harga (murah), tetapi tidak berdasarkan value. Ini pertanda industri perhotelan (terutama booking engine-nya) masih berkutat di harga (price), daripada di data.

Sistem ekonomi

Dari dahulu saya tidak pernah mempermasalahkan sistem ekonomi yang ada di negara kita ini, atau negara lain. Tetapi saya selalu percaya, bahwa ada titik equilibrium yang dipakai, sehingga sedikit sistem sebelah sini dan sedikit di sebelah sana, justru akan membuat sebuah bangsa menjadi besar. Sosialisme atau kapitalisme akan menghancurkan bangsa sendiri apabila dipakai 100% dan tidak menghiraukan perubahan.

Jaman Pak Harto-pun yang sedemikian kapitalis dan konglomeralis (menurut saya), negara ini tetap mempunyai pertumbuhan ekonomi yang bagus. Saat ini, Tiongkok yang menganut sosialis juga sudah tidak bisa 100% sosialis. Mereka juga sangat membuka diri terhadap kapital dari luar negeri. Ini hanya masalah bagaimana konsep ini bisa menyesuaikan dan membuatnya menjadi pertahanan yang hebat.

Nah, sudah sekian lama kita disuguhi oleh sebuah konsep kapitalisme berbasis finansial. Buat yang masih bingung apa itu arti kapitalisme, secara singkat bisa gini : yang punya modal banyak (kapital) akan sangat berkuasa, peran dan campur tangan pemerintah di bisnis sangat minim.

Karena yang punya duwit akan menguasai, jadi dia akan mencari keuntungan pribadi tanpa memperhatikan ekosistem. Di sistem ini, swasta sangat mendominasi.

Ini mungkin yang membuat banyak orang menjadi anti-kapitalisme. Karena dukungan kapital yang banyak akan membuat orang bisa berbuat apa saja. Termasuk menghancurkan pedagang kecil, menghilangkan persaingan, sampe dengan mendekat ke pembuat kebijakan (Pemerintah) dengan menyuap.

Gak baik, tapi belum bisa dihindari.

Berita bagusnya, perubahan itu terjadi, dan kapitalisme secara ekonomi sekarang sudah menjadi barang usang. Disrupsi teknologi membuat dunia mempunyai mata uang yang baru, yaitu Data.

Tentu saja kita masih akan mendewakan uang sebagai penggerak ekonomi bangsa, tetapi sedikit demi sedikit penggunaan mata uang secara konvensional sudah mulai pudar. Konsep mata uang sebagai alat tukar juga sudah mulai bergeser. Di kali lain saya akan cerita bagaimana cryptocurrency akan menguasai dunia.

Baca juga : Pasar Online Lokal Indonesia > Diantara Kedai Kopi dan Pemasaran Rasa Penasaran

Ini semua terjadi semata-mata karena selama ini proses informasi yang terjadi, tidak bisa dibuat transparan. Pasar sebetulnya sangat bergantung kepada informasi yang didapat untuk mengambil keputusan : beli atau tidak. Bentukan informasi ini, secara konvensional dan berlangsung berabad-abad, diidentikkan ke pasar dengan satu hal : Harga. Dan harga, sangat identik dengan Uang.

Contohnya sangat mudah : Harga mahal berarti barang berkualitas, harga murah diasosiasikan dengan kualitas rendah. Lha terus, bagaimana dengan barang yang bisa dibuat berkualitas, tetapi mempunyai cost yang murah dan transparan karena bantuan teknologi? Berapa harga jualnya? Mbuh ah, karena di bahasa kita, ini namanya Disrupsi.

Kondisi pasar yang didominasi melek teknologi mendorong interaksi sosial yang lebih individual dan intens. Akan tiba suatu saat dimana kondisi pasar tidak bisa lagi dikuasai oleh perusahaan berdana besar, tetapi oleh perusahaan yang penuh inovasi, cepat dan melihat kondisi empiris pasar dengan data, bukan dengan intuisi. Pasar saat ini menjadi push factor yang luar biasa untuk membuat perusahaan berbenah. Lihat saja bagaimana pasar bisa membuat daur hidup produk menjadi sangat pendek dan membuat perusahaan berpikir cepat untuk mengeluarkan produk/variasi baru.

Jadi, dana besar (baca : kapital) sudah tidak bisa lagi mendorong 1) Profit dan 2) Efisiensi. Dua hal ini yang krusial dilakukan oleh perusahaan yang ingin survive di era sekarang. Ini trigger besar yang menjadikan kapitalisme berbasis duwit mulai memudar.

Yang muncul apa? Kapitalisme jenis baru yang berbasis kepada Data. Ini jauh lebih berbahaya – apabila kita akan memandangnya dari sisi itu. Dengan berbasis kepada data, sebuah perusahaan akan bisa meningkatkan omset dan profit, sekaligus menjadikannya sangat efisien.

Ngebayanginnya gini saja, suatu saat, Gojek akan mem-push notifikasi kita begini : Mblo, gak mau pesen martabak nih? Di tukang martabak biasanya lagi ada promo nih.

Secara kasat mata ini yang terjadi :

1. Kenapa ada kata ‘mblo’? Algoritma Gojek mendeteksi anda tidak mempunyai pacar karena pola bepergian yang sama, hanya dari kampus ke rumah terus ke kampus terus ke rumah, gitu saja terus. Ini pasti jomblo. Ditambah lagi, karena pesen Gofood selama ini selalu satu porsi, jadi Gojek membaca ke-jomblo-an anda.

2. Setelah berkali-kali pesen martabak manis jam yang hampir sama dengan kondisi cuaca yang setiap kali pas hujan. Algoritma Gojek yang mendeteksi hujan dari aplikasi AccuWeather di kota anda, kemudian menyimpulkan anda mempunyai kemungkinan 86% untuk kembali memesan martabak. Kemudian ditambahin dengan gimmick tentang promosi di tukang martabak kesayangan anda. Lengkap sudah.

Sudah terpenuhi kan? Promosi yang efisien, akurat dan secara langsung akan menambah omset. Karena apa? Big Data.

Viktor Mayer-Schönberger dan Thomas Ramge dalam buku kerennya yang berjudul “Reinventing Capitalism in the Age of Big Data” (2018) menamakan ini ‘data-rich market’. Dalam buku itu mereka berargumentasi secara provokatif dengan mengatakan bahwa :

  1. Data saat ini sudah mulai menggantikan harga sebagai pemberi sinyal paling efektif dalam mekanisme ekonomi, dan
  2. Data-rich market akan membuat perusahaan konvensional gulung tikar, ini akan membuat konsekuensi secara massif di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan.

Menurut Schönberger dan Ramge, sekarang ini perilaku pasar sudah bergeser menjadi multipreferensi, seperti pilihan yang lebih personal, waktu, atau kenyamanan, daripada sekedar berdasarkan harga. Perilaku multipreferensi ini yang mengharuskan perusahaan ‘data-rich’ untuk mengolah datanya agar mendapatkan efisiensi dan profit yang diinginkan.

Siapkah kita?

Sayangnya, perusahaan yang berbasis data ini belum banyak di Indonesia. Di beberapa startup besar mempunyai divisi data yang secara khusus mengolahnya menjadi informasi untuk kepentingan research and development. Tetapi, terus terang saja, masih belum bisa mengolah itu trigger untuk profitability.

Yang jago mengolah data memang perusahaan Amrik, macam Amazon, Facebook atau yang lainnya. Kita biasanya hanya memanfaatkan saja. Pernah ngiklan di Facebook? Iya lah pasti. Kita semua memakai data yang ada di Facebook untuk kepentingan kita. Kalaupun kita mengumpulkan leads atas iklan itu, bagaimana kita akan memakai data leads tersebut menjadi konversi? Merubah Cold Traffic menjadi Warm Traffic dan bahkan Hot Traffic Ini, secara kecil-kecilan, kita sudah menerapkan sistem Big Data. Me-maintain Hot Traffic berarti kita memakai multipreferensi terhadap leads yang sudah berhasil kita captured.

Jadi, secara umum, kita masuk ke dalam arus kapitalisme data yang digaungkan oleh perusahaan barat. Betul kita memanfaatkan itu, tetapi mereka jauh lebih bisa mendapatkan manfaat dari data yang kita berikan secara sukarela.

Sejauh ini kita masih belum bisa memakai data domestik untuk kepentingan kita sendiri. Kapitalisme data ini baru masuk dalam tatanan dunia baru belum lama. Jadi, secara tahapan mungkin masih di introduction, bahkan belum masuk ke growth. Kasus Cambridge Analytica (CA) adalah kasus besar tentang penggunaan data di Facebook. Walaupun yang menyalah gunakan adalah CA, tetapi Facebook sebagai penyedia layanan data terseret masuk ke dalamnya.

Data is nothing less than the lifeblood of global capitalism

Sudah sepakat kita? Kalau yang mempunyai data akan menguasai dunia? Digitalisasi membuat pengumpulan data menjadi lebih mudah. Perusahaan yang mempunyai data kita, menjadi sangat kaya dan powerful. Ini bukan hanya karena mereka menjadi tahu perilaku kita secara individu, seperti buku jenis apa yang kita baca atau mobil apa yang kita pakai, tetapi mereka juga akan menginformasikan algoritma yang dipakai untuk mendefinisikan perilaku sebuah masyarakat, seperti makanan apa yang paling banyak dipesan di daerah pesisir pantai atau, mungkin, partai apa yang akan menang di daerah tertentu.

Ini menjadi semakin mengerikan.

Karenanya, setiap pemerintahan negara di dunia ini harus segera membuat aturan tentang bagaimana arus data ini menjadi lintas batas. Artinya, data informasi yang diambil berdasarkan di negara tersebut harus tetap menjadi aset negara itu. Konsep ini ditentang habis oleh banyak perusahaan Amrik. Menurut mereka, ‘digital protectionism’ ini merupakan kemunduran dan mengancam eksistensi inovasi, efisiensi dan kemakmuran global. Pret.

Konglomerasi data ini, yang diwakili oleh lobiyist Internet Association di Amrik, terus menyuarakan bahwa penggunaan data adalah bagian dari globalisasi. Pemerintah tidak boleh mewajibkan jenis data tertentu, seperti informasi pribadi bahkan yang sensitif sekalipun, untuk disimpan atau diolah di negara tempat dioperolehnya data tersebut.

Lebih edan lagi, pemerintah juga tidak boleh menuntut mereka untuk bertanggung jawab atas konten yang terdapat pada platform mereka. Bahkan, rahasia algoritma pencarian di Google, atau algoritma di Facebook News Feed-pun tidak akan bisa diungkap oleh pemerintah sampai kapanpun juga.

Kapitalisme data sudah di depan mata. Siapkah kita untuk kembali kalah?

Artikel terkait

1 Komentar

  1. setelah membaca buku Yuval Noah Harari yang berjudul Homo Deus, saya baru menyadari betapa berharganya data.. data bisa menjadi mata uang baru di masa mendatang

Berikan komentar

Email Anda tidak akan kami publikasikan. Wajib diisi *